Riset Kode Inisiatif Tunjukkan Sistem Rekapitulasi Manual Layak Diubah
Riset yang dilakukan Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif menunjukkan lebih dari separuh negara di dunia telah mempraktikkan rekapitulasi elektronik dalam penyelenggaraan pemilihan umum dengan sejumlah keunggulan.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset yang dilakukan Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif menunjukkan lebih dari separuh negara di dunia telah mempraktikkan rekapitulasi elektronik dalam penyelenggaraan pemilihan umum dengan sejumlah keunggulan. Hal itu menunjukkan perubahan sistem serupa relatif layak dilakukan pula di Indonesia khususnya dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2020.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Ihsan Maulana, Minggu (4/8/2019), mengatakan, selain memangkas waktu rekapitulasi, efisiensi dana juga bisa terjadi dengan pengimplementasian rekapitulasi elektronik. Hal itu terjadi jika peralatan yang dipergunakan bisa kembali dipakai untuk tiga kali atau empat kali pemilu berikutnya.
”Itu karena bisa memangkas proses rekapitulasi berjenjang yang juga memerlukan dana yang tidak sedikit untuk saksi-saksi,” ucap Ihsan.
Itu karena bisa memangkas proses rekapitulasi berjenjang yang juga memerlukan dana yang tidak sedikit untuk saksi-saksi.
Adapun berdasarkan riset publikasi yang dilakukan Kode Inisiatif, diketahui 93 negara dari 170 negara telah menggunakan metode rekapitulasi elektronik. Adapun 68 negara lainnya masih menggunakan cara manual dalam merekapitulasi hasil penghitungan suara. Tujuh negara lain tidak diketahui datanya dan dua negara menggunakan sistem lain-lain.
Amerika, Eropa, dan Afrika menjadi tiga benua dengan negara-negara yang didominasi sistem rekapitulasi elektronik. Sementara di Asia dan Oseania masih cenderung didominasi cara nonrekapitulasi elektronik.
Adapun dimensi lama waktu dengan cara rekapitulasi elektronik bergantung pada jenis pemilu yang diselenggarakan. Pada jenis pemilu legislatif, sebagian besar negara menyelesaikannya dalam sehari. Meski demikian, ada pula yang butuh 66 hari sebagaimana terjadi di Kongo.
Untuk jenis pemilu presiden, waktu rekapitulasi elektronik memiliki sejumlah keragaman dan tidak lagi didominasi dalam waktu satu hari. Jumlah hari yang dihabiskan untuk melakukan rekapitulasi elektronik berada pada kisaran dua hari hingga 11 hari.
Saat pemilu presiden dan legislatif dilakukan serentak, sebagian besar negara melakukannya hanya dalam waktu satu hari. Total waktu terlama dicatatkan Republik Dominika selama 12 hari.
Ihsan mengatakan, waktu rekapitulasi elektronik pada pemilu presiden memang seolah lebih lama jika dibandingkan dengan pemilu legislatif. Walakin, jika dihitung secara akumulatif, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan rekapitulasi elektronik dalam pemilu presiden cenderung lebih stabil.
”Dibandingkan dengan pemilihan legislatif, memang banyak yang satu hari, tetapi ada juga yang lebih dari 30 hari,” kata Ihsan.
Menurut Ihsan, jika tujuan mempraktikkan rekapitulasi elektronik untuk mempercepat proses, hal itu terbukti signifikan. ”Betul, di banyak negara seperti itu,” ucap Ihsan.
Anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, pekan lalu sempat menyampaikan bahwa pihaknya akan menggelar diskusi kelompok terfokus bersama sejumlah pakar hukum pada 6 Agustus atau 7 Agustus. Tujuannya memastikan kekuatan landasan hukum untuk penyelenggaraan rekapitulasi elektronik sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Pilkada.
Deputi Direktur Indonesia Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar, Minggu, mengatakan, praktik rekapitulasi elektronik tidak mesti bergantung secara ketat pada undang-undang. Menurut Erwin, dilihat dari konteks perkembangan zaman, praktik rekapitulasi elektronik memang sudah semestinya dilakukan.
Dia mengatakan, asalkan tidak bertentangan dengan UU Pilkada, semestinya hal itu bisa dipraktikkan secara langsung. Erwin memadankan hal itu dengan metode pembayaran tunai atau secara elektronik sebagai sebuah cara alih-alih hal yang substantif.
”Ini bukan persoalan serius, hanya teknisnya yang harus diatur. Siapa yang harus melakukan dan sebagainya,” kata Erwin.