JAKARTA, KOMPAS— Amendemen UUD 1945 mesti direncanakan dengan matang dan dilakukan sesuai dengan kebutuhan ketatanegaraan. Amendeman yang dilakukan karena kepentingan politik jangka pendek, hanya akan menimbulkan kegaduhan politik dan dapat berakibat fatal.
”Jangan mengubah UUD hanya karena berdasarkan kemauan, tetapi harus karena ada kebutuhan ketatanegaraan. Saya tak melihat ada urgensi yang membuat kita harus mengubah konstitusi,” kata mantan Ketua MK Hamdan Zoelva, Senin (5/8/2019) di Jakarta.
Sebelumnya, terkait polemik pengisian ketua MPR, Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Ahmad Basarah mengatakan, partainya akan mencalonkan kadernya sendiri untuk jadi ketua MPR 2019-2024 jika partai lain yang mengincar kursi ketua MPR tidak sepakat menjalankan agenda amendemen UUD 1945 untuk sejumlah poin. Poin yang dimaksud PDI-P adalah amendemen itu untuk menghidupkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN, dan menjadikan MPR lembaga tertinggi negara (Kompas, 5/8/2019).
Menurut Basarah, sikap PDI-P itu dimaksudkan agar diskursus terkait pengisian kursi ketua MPR tetap mengacu pada agenda dan program strategis, bukan perebutan jabatan semata.
PDI-P mendorong adanya GBHN, lanjut Basarah, karena ada kebutuhan untuk hadirnya panduan rencana pembangunan nasional yang berkesinambungan.
Namun, Hamdan Zoelva menilai, tidak ada urgensi untuk melakukan amendemen UUD 1945 demi menghidupkan lagi GBHN dan mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN itu.
Pemerhati hukum tata negara Refly Harun menambahkan, perubahan konstitusi sebenarnya dibutuhkan, tetapi untuk menyempurnakan dan menata ulang lembaga-lembaga negara seperti Dewan Perwakilan Daerah. Keberadaan lembaga itu kini tanggung karena kewenangan tidak signifikan dan kinerja kurang efektif.
GBHN, kata Refly, tidak perlu dihidupkan kembali karena tidak sesuai dengan konteks sistem presidensial saat ini di mana presiden bukan lagi mandataris MPR. ”Kecuali kita mau kembali ke masa lalu di mana MPR itu lembaga tertinggi yang bisa mengontrol lembaga lainnya dan memberhentikan presiden dengan alasan melanggar GBHN,” ujarnya.
Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI dari Fraksi Partai Golkar Rully Chairul Azwar mengatakan, saat ini, pandangan fraksi-fraksi dan kelompok di MPR terkait pasal-pasal di UUD 1945 masih terbelah. Sebagai contoh, ada pihak yang ingin mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara, tetapi juga ada yang menolaknya. (WER/AGE)