JAKARTA, KOMPAS - Perkara-perkara yang tidak dapat diterima masih terus mendominasi putusan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU Pileg 2019 di Mahkamah Konstitusi. Komisi Pemilihan Umum juga akan segera menggelar rapat pleno untuk mengeksekusi putusan MK atas permohonan-permohonan yang diterima.
Pada persidangan sesi pertama yang berlangsung sejak pagi hingga lepas tengah hari, Rabu (7/8/2019), dari 25 perkara yang putusannya dibacakan, tidak ada satupun yang dikabulkan. Dengan demikian, hingga Rabu siang, terdapat 61 putusan tidak dapat diterima, 17 putusan ditolak, 16 putusan gugur, delapan perkara ditarik kembali, dan hanya tiga perkara dikabulkan.
Kuasa hukum KPU Ali Nurdin, di sela-sela persidangan pada Rabu itu mengatakan bahwa putusan yang diberikan cenderung lebih banyak yang berjenis niet ontvankelijke verklaard atau NO, dimana permohonan dimaksud tidak dapat diterima. Permohonan jenis ini belum masuk ke dalam pokok perkara karena dianggap tidak memenuhi persyaratan.
Tidak dipenuhinya persyaratan tersebut, kata Ali, di antaranya karena permohonan yang dinilai tidak jelas. Selain itu bagian petitum atau permohonan pemohon sengketa dianggap tidak logis dan bertentangan antara satu dengan lainnya.
Hal ini seperti tampak pada sejumlah perkara dalam persidangan di sesi pertama tersebut. Pada salah satu bagian petitum disebutkan agar KPU menggelar pemungutan suara ulang. Akan tetapi pada petitum lainnya meminta KPU menetapkan suara pemohon sesuai dengan versi yang dimohonkan. Ali menambahkan, petitum yang disusun secara kumulatif tersebut membuat banyak perkara lantas diputuskan tidak dapat diterima.
“Harusnya (disusun secara) alternatif, bukan kumulatif,” kata Ali.
Selain itu, ada pula perkara yang dipersoalkan perbaikan permohonan (renvoi) substansialnya, menyusul batas waktu yang dilewati. Alasan ini juga menyebabkan sejumlah permohonan tidak dapat diterima.
Menurut Ali, sejumlah hal tersebut patut diduga terkait dengan teknik beracara kuasa hukum yang ditunjuk oleh para pemohon. Ia membandingkannya dengan sejumlah biaya yang dikeluarkan pihak terkait, terutama para pemohon, dalam menghadirkan saksi, memastikan keberadaan di Jakarta, dan sebagainya.
Lebih jauh Ali menambahkan, tiga putusan yang menyatakan permohonan para pemohon diterima juga tidak serta merta mengubah perolehan kursi. Ia menegaskan, pada salah satu perkara, putusan diterimanya permohonan diberikan oleh MK karena adanya selisih suara.
“Tapi selisih suara itu bukan berarti mengabulkan gugatan pemohon, karena suara dia (pemohon) malah (jadi) kurang,” sebut Ali merujuk pada perkara sengketa internal Partai Golkar di Daerah Pemilihan Bintan 3 untuk perebutan kursi DPRD Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
Akan tetapi, ia juga menyebutkan bahwa ada kemungkinan putusan yang pada akhirnya memengaruhi perolehan kursi pemohon. Namun Ali menegaskan dalam hal ini KPU menetapkan perolehan suara alih-alih perolehan kursi.
Jalankan Putusan
Anggota KPU Wahyu Setiawan pada hari yang sama mengatakan bahwa KPU akan melakukan rapat pleno untuk menjalankan putusan MK. Ia mengatakan bahwa putusan tersebut akan dieksekusi sesegera mungkin.
“Iya, iya, iya. Jadi ketetapan KPU terkait dengan hasil pilleg yang sekarang digugat di MK akan kita ubah, kita sesuaikan dengan hasil putusan MK. Itu prinsipnya,” kata Wahyu.
Ketetapan yang dimaksud adalah SK KPU Nomor 987/PL.01.9-Kpt/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019.
Adapun anggota KPU Evi Novida Ginting mengapresiasi kinerja anggota KPU di daerah yang menyelesaikan sejumlah keberatan peserta pemilu di tingkat bawah. Ini menurutnya tampak ketika sejumlah perkara tersebut dibawa ke tingkat MK, sebagian besar di antaranya sudah diselesaikan persoalannya.
Wewenang Bawaslu
Sementara itu dari salah satu putusan yang dibacakan hakim konstitusi Aswanto di persidangan sesi pertama, disebutkan mengenai salah satu putusan Bawaslu yang tidak wajib ditindaklanjuti oleh KPU. Putusan tersebut dikeluarkan Bawaslu pada 17 Juni 2019.
Hal ini karena putusan itu keluar setelah penetapan hasil rekapitulasi penghitungan suara nasional Pemilu 2019 yang sudah dilakukan pada 21 Mei 2019. Aswanto menyebutkan bahwa dengan demikian hal tersebut telah menjadi kewenangan MK.
Menanggapi hal itu, komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan berdasarkan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum, Bawaslu menerima laporan mengenai dugaan pelanggaran administrasi pemilu. Ia menambahkan, berdasarkan undang-undang yang sama, tidak dinyatakan kapan batas waktu terkait hal tersebut.
“Sehingga Bawaslu menerima laporan dan memutus sesuai kewenangan yang kami miliki, (yakni) UU Nomor 7/2017,” sebut Fritz.