Perkembangan teknologi menjadi buah simalakama untuk sistem demokrasi. Kehadiran era demokrasi digital, tetapi juga menghadirkan fenomena kejahatan siber baru yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh
Muhammad Iksan Mahar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan teknologi menjadi buah simalakama untuk sistem demokrasi. Kehadiran era demokrasi digital, tetapi juga menghadirkan fenomena kejahatan siber baru yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau hal itu tidak diantisipasi, tatanan sosial masyarakat bisa terancam, terutama mengakibatkan polarisasi yang dapat memecah belah bangsa.
Hal itu menjadi saripati orasi ilmiah yang disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly dalam rangka penyematan gelar Guru Besar Kriminologi dari Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Rabu (11/9/2019). Orasi ilmiah itu bertajuk ”Dampak Cyber Bullying dalam Kampanye Pemilu terhadap Masa Depan Demokrasi di Era 5.0”.
”Fenomena cyber bullying pada mulanya dianggap sebagai masalah kesehatan jiwa remaja. Tetapi, dalam perkembangannya gejala cyber bullying dan cyber victimization telah menghadirkan malapetaka sosial, yaitu hadirnya polarisasi yang cukup keras di tengah masyarakat,” ujar Yasonna.
Dalam kesempatan itu, hadir sejumlah tokoh bangsa, tokoh politik, petinggi kementerian/lembaga negara, antara lain Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, dan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.
Menurut Yasonna, fenomena itu terjadi karena terabaikannya sisi positif dari perkembangan teknologi, terutama media sosial. Seharusnya, media sosial digunakan untuk menyebarkan hal-hal terbaik dari praktik demokrasi, misalnya dengan kehadiran era demokrasi digital. Namun, sebagian pihak justru menggunakan media sosial untuk mengganggu dan menghancurkan demokrasi dengan dasar kebebasan yang dijamin oleh sistem tersebut.
Yasonna menilai, teori kriminologi dan hasil penelitian empirik tentang dampak cyber bullying terhadap demokrasi masih sangat terbatas. Oleh karena itu, ia berpesan kepada para kriminolog, peneliti, dan ilmuwan sosial untuk mencari solusi dalam fenomena itu.
”Kita perlu melakukan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tetapi tidak memberikan hukuman, melainkan lebih mengutamakan untuk memberikan pedoman dalam penggunaan internet dan mencegah terjadinya cyber bullying, cyber crime, dan cyber victimization,” tuturnya.
Sebagai langkah awal untuk meredam fenomena itu, Yasonna menekankan agar semua pihak lebih bijak menggunakan media sosial untuk menghindari terjadinya kasus kekerasan dan kejahatan di dunia maya.
”Media sosial harus memberikan energi positif dalam memajukan, memakmurkan, serta menyejahterakan bangsa dan negara,” katanya.
Berubah
Kalla menilai, paparan yang disampaikan Yasonna merupakan refleksi dari fenomena sosial-politik yang terjadi akibat pesatnya perkembangan teknologi. Internet, terutama media sosial, telah mengubah banyak hal, mulai dari gaya hidup, sistem produksi, hingga cara orang bermasyarakat.
Di dunia politik, tambah Kalla, juga terjadi perubahan. Ia mencontohkan, pada masa terdahulu, ketua pengarah massa selalu menjadi perhatian utama bagi tokoh dan partai politik dalam masa kampanye. Namun, saat ini pasukan siber yang lebih diutamakan.
”Ilmu pengetahuan diharapkan bisa menangkal berbagai kejahatan siber. Kita harapkan pertumbuhan dunia siber tidak menurunkan etika kehidupan kita semua,” kata Kalla.
Tito juga menekankan, pemaparan orasi ilmiah Yasonna sesuai dengan masalah nyata yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Dampak cyber bullying telah terlihat dalam pilkada hingga Pemilu 2019 lalu.
”Kami berharap pengukuhan Bapak Yasonna sebagai Guru Besar Kriminologi dapat bermanfaat bagi bangsa Indonesia dan ilmu pengetahuan, khususnya bagi ilmu kepolisian,” kata Tito.