Sejarah menjadi salah satu pijakan bangsa Indonesia untuk menerawang masa depan. Sejarah mengajarkan banyak konsesus yang memungkinkan Indonesia tetap berdiri sebagai sebuah bangsa
Oleh
Insan Alfajri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejarah menjadi salah satu pijakan bangsa Indonesia untuk menerawang masa depan. Selain tetap mempertahankan landasan normatif, Indonesia juga mesti memperhatikan faktor yang memicu perubahan, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagi guru besar emeritus Universitas Indonesia dan mantan Menteri Koordinator Perekenomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, masa depan Indonesia bisa dilihat dari sejarah bangsa ini. Dorodjatun menyitir tradisi Perancis, yang percaya bahwa masa depan dilihat dari sejarah. Hal
"Artinya, kita mesti mengenal sejarah terlebih dahulu sebelum memandang masa depan Indonesia," kata Dorodjatun dalam bedah buku karyanya yang berjudul "Menerawang Indonesia pada Dasawarsa Ketiga Abad ke-21 (2019)", Kamis (19/9/2019), di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta.
Hadir sebagai pembedah adalah pengamat militer sekaligus Ketua Penelitian Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi; akademisi kebijakan publik Juni Thamrin; dan pengajar PTIK Surya Dharma.
Dalam buku yang terbit pertama kali tahun 2012, ini sejarah menjadi salah satu unsur penentu nasib suatu bangsa selain faktor geografi dan demografi. Dalam lintasan sejarah, akan tergambar proses pergelutan mencari fakta-fakta sejarah suatu bangsa.
Dari proses itu, akan muncul kesimpulan yang mengarah pada terbukanya pilihan-pilihan baru. Alternatif ini dapat dijadikan panduan dalam perjalanan ke masa depan. Sejarah berperan sebagai penunjuk jalan bagi pemangku kepentingan untuk fokus pada pilihan strategis yang akan digunakan sebagai penggerakan pembangunan ke masa depan (halaman 67).
Dorodjatun menyatakan, ada dua unsur penentu bagi masa depan Indonesia, yakni keberlangsungan dan perubahan. Sejarah masuk dalam unsur keberlanjutan.
Dalam sejarah, katanya, terdapat sejumlah konsesus yang memungkinkan kita tetap berdiri sebagai sebuah bangsa. Konsensus itu termaktub dalam Sumpah Pemuda 1928 serta landasan normatif Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana terangkum dalam Preambul Undang-undang Dasar 1945.
Selain hal normatif yang harus dipertahankan, Dorodjatun juga memandang Indonesia mesti adaptif terhadap perubahan lanskap ilmu pengetahuan dan teknologi. Di tingkat nasional, hal ini perlu disikapi dengan terus mencari istem ekomi potik ideal yang sesuai dengan arus perubahan itu.
Surya Dharma menilai, buku itu sudah menggambarkan hal-hal makro yang akan memengaruhi masa depan Indonesia. Akan tetapi, belum terlihat seperti apa sebetulnya masa depan Indonesia tahun 2030, seperti yang tertera di judul.
"Oleh sebab itu, kita memerlukan kepemimpinan visioner yang dapat menjelaskan masa depan Indonesia berpuluh tahun ke depan," katanya.
Juni Thamrin menambahkan, revolusi digital membuat swasta memegang kendali atas data-data personal penduduk. Pengelolaan terkait hal ini perlu dipikirkan dalam menerawang masa depan Indonesia.
Di sisi lain, kebaragaman Indonesia masih sangat rawan. Gerakan terorisme dan separatisme masih menjadi ancaman di Indonesia. Masalah-masalah aktual semacam ini butuh deteksi dini agar tak mengancam masa depan Indonesia.
Sementara Muradi menyatakan, salah satu yang patut diapresiasi dari buku ini adalah menempatkan negara sebagai bagian penting dalam percaturan ekonomi politik di masa depan. Buku ini juga membahas potensi konflik antarnegara.
"Saya sendiri meyakini bahwa pasca-Perang Dingin, potensi konflik antar-negara itu sangat kecil. Tetapi yang menantang dari buku ini, konflik antarnegara dimunculkan karena ada potensi perebutan sumber daya alam," katanya.