JAKARTA, KOMPAS - Tiga revisi undang-undang yang oleh pemerintah dan DPR dikebut pembahasan, yaitu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU Pemasyarakatan, dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi, menjadi perhatian masyarakat sipil. Pasalnya, ketiga revisi undang-undang tersebut dinilai merusak tatanan demokrasi di Indonesia.
Dalam diskusi bertajuk "Problematika Legislasi: Revisi UU KPK, RKUHP, dan RUU Pemasyarakatan" yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW), Jumat (20/9/2019) di Jakarta, peneliti Institute for Criminal Justice Reform Maidina Rahmawati mengatakan, pengaturan mengenai living law atau hukum yang hidup di masyarakat di RKUHP bertentangan dengan konsep pengakuan terhadap masyarakat adat. Hukum adat mestinya melekat dengan masyarakat adat dan bukan didorong untuk ditegakkan bagi masyarakat di daerah tertentu sebagaimana ada dalam RKUHP.
Pengakuan hukum adat, tambahnya, tidak bisa didefinisikan ke dalam peraturan daerah. Selain itu, hukum tersebut juga tidak bisa ditujukan pada orang lain yang tidak merasa terikat dengan hukum adat tersebut.
“Penegakan hukum adat bukan seperti rumusan RKUHP (saat ini),” ujar Maidina.
Selain itu, menurut Maidina, rumusan akhir RKUHP yang telah disetujui pemerintah dan DPR pada Rabu (18/9) tidak menggambarkan cita-cita melakukan rekodifikasi dan mendekolonialisasi hukum warisan Belanda tersebut.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, pada kesempatan yang sama menyoroti revisi UU KPK yang sudah disahkan dan RUU Pemasyarakatan yang sudah disepakati pemerintah serta DPR akan disahkan menjadi undang-undang. Ia menyoroti singkatnya waktu pembahasan kedua RUU tersebut. Hal ini membuat publik menghubung-hubungkan hal itu dengan adanya 23 anggota DPR dan lima ketua umum partai politik yang terjerat kasus korupsi selama beberapa tahun terakhir.
Kurnia menambahkan, jika RUU Pemasyarakatan disahkan, dapat dipastikan bakal ada obral remisi besar-besaran yang terjadi. Selain itu, pembebasan bersyarat yang selama ini harus lewat rekomendasi KPK juga dihilangkan.
Menurut Kurnia, dalam hal pengaturan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat, kombinasi peran penegak hukum dan institusi pemasyarakatan mestinya jadi hal penting. Sebab, dalam hal ini, penegak hukum (KPK) lebih mengetahui kasus terkait alih-alih Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang kelak akan memberikan rekomendasi terkait pengurangan hukuman bila RUU Pemasyarakatan disahkan.
“Dua isu ini penting, dan pemerintah semangat sekali,” kata Kurnia.