Ketersediaan anggaran pilkada serentak 2020 di sejumlah daerah diindikasikan tidak memadai.
Oleh
Ingki Rinaldi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketersediaan anggaran pilkada serentak 2020 di sejumlah daerah diindikasikan tidak memadai. Perbedaan antara anggaran yang diusulkan penyelenggara pilkada dan yang bisa disediakan pemerintah daerah membuat penandatanganan sejumlah naskah perjanjian hibah daerah belum bisa dilakukan.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby, Senin (30/9/2019), mengatakan hal itu berdasarkan pemantauan sementara di Sumatera Utara dan Sulawesi Barat. Di Sumatera Utara terdapat 14 daerah yang sudah mencapai kesepakatan, tetapi belum melakukan penandatanganan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD).
Daerah yang sudah bersepakat menandatangani NPHD adalah Sibolga. Sementara penyelenggara pilkada di Serdang Bedagai, Mandailing Natal, Simalungun, Tanjung Balai, Nias Barat, Nias Selatan, dan Gunungsitoli belum kunjung mencapai kesepakatan dengan pemerintah daerah setempat terkait anggaran pilkada dan dengan demikian belum menandatangani NPHD.
Sementara di Sulawesi Barat, Alwan mengatakan, di Kabupaten Mamuju terdapat persetujuan anggaran yang lebih kecil dibandingkan yang diminta. Menurut Alwan, jika anggaran yang diajukan penyelenggara pilkada tersebut tidak dipenuhi, penyelenggara setempat menyatakan, pilkada tidak bisa diselenggarakan.
Selain itu, hal serupa juga terjadi di Kabupaten Pasangkayu, Mamuju Tengah, dan Kabupaten Majene. Ia menambahkan, hal demikian juga dialami oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), alih-alih hanya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.
Alwan mengatakan, anggaran yang relatif tidak memadai ini berpotensi menghambat pilkada serentak 2020. Setidak-tidaknya, hal tersebut membuat tahapan persiapan berjalan dengan kurang optimal.
Ia membenarkan bahwa terdapat kecenderungan atau indikasi saling ngotot dalam mempertahankan versi anggaran masing-masing, baik oleh pemerintah daerah maupun penyelenggara pilkada.
”Khawatirnya (saling) ngotot atau negosiasi ini dijadikan alat bagi calon petahana dalam membangun sebuah kesepakatan atau konsensus antara petahana dan penyelenggara,” kata Alwan.
KPU membantah
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Evi Novida Ginting, pada hari yang sama membantah kengototan KPU dalam mengajukan anggaran. Menurut dia, pengusulan anggaran dilakukan secara masuk akal.
”KPU itu tidak ngotot-ngototan. Kami (KPU) selalu rasional mengusulkan anggaran. Karena peraturan KPU (PKPU) terkait penyelenggaraan pilkada sudah ada dan sangat jelas kebutuhan-kebutuhan yang harus dianggarkan dalam usulan NPHD tersebut,” kata Evi.
Ia mengatakan pentingnya pembahasan terkait anggaran mengikuti kebutuhan yang tahapannya tercantum dalam PKPU terkait. Hal ini untuk menghindari kesalahan dalam memperkirakan kebutuhan pilkada yang dapat berakibat sejumlah tahapan di dalamnya tidak bisa dilaksanakan.
”Jadi, usulannya tentu tidak asal-asalan dan KPU bukan ngotot-ngototan,” kata Evi.
Komisioner KPU, Ilham Saputra, pada hari yang sama menambahkan, pada Senin itu ada sejumlah daerah yang sudah menyepakati NPHD. Hingga saat ini, KPU masih terus menghimpun dan menyusun daftar kesepakatan dan penandatanganan NPHD dimaksud.