JAKARTA, KOMPAS – Kesadaran publik menjadi kunci untuk mengantisipasi dampak masif penyebaran disinformasi atau misinformasi di jagad dunia maya. Penegakan hukum hingga gerakan literasi digital tidak akan mampu meredam kehadiran berita bohong, kecuali warganet mengedepankan sikap kritis dalam menerima setiap informasi.
Ketua Komite Pengecekan Fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Aribowo Sasmito menjelaskan, pola standar sebaran disinformasi selalu mengikuti tema dan topik yang sedang populer di masyarakat, seperti unjuk rasa yang terjadi selama dua pekan terakhir. Penentuan topik yang tengah populer itu, kata Aribowo, didasari karena faktor warganet yang sangat suka menyebarkan hal-hal yang tengah hits tanpa memeriksa dulu kebenarannya.
Narasi dan teknik penyebaran berita palsu (fake news) pada persitiwa aksi massa menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) serupa pada agenda Pemilu 2019 lalu. Disinformasi atau misinformasi disebarkan menggunakan foto/video peristiwa lama, pelintiran konteks, dan daur ulang informasi bohong yang sempat beredar sebelumnya.
“Kunci paling utama untuk meredam penyebaran misinformasi/disinformasi sebetulnya berada di sisi warganet. Sebab, sebanyak apapun literasi digital yang dilakukan pemerintah atau organisasi masyarakat sipil tidak ada artinya tanpa kemauan untuk bergerak dari warganet,” ujar Aribowo, Minggu (6/10/2019), di Jakarta.
Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Watch Donny Budi Utomo menambahkan, pihaknya terus berupaya untuk mengembangkan kesadaran masyarakat, terutama anak dan keluarga, mengenai penggunaan teknologi informasi dan internet dengan aman dan bijaksana.
“Inisiatif sef-filtering di internet hanya dapat dilakukan di level keluarga dan pendidikan,” tutur Donny.
Ia pun mengingatkan, literasi digital dan perlindungan daring membutuhkan dialog dan kerja sama antar pemangku kebijakan yang insklusif, transparan, dan setara.
Pengaruhi citra
Seperti diketahui, pasca aksi unjuk rasa, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengungkap sejumlah penyebar berita palsu terkait agenda itu. Salah satunya, penyebar video disinformasi yang mendiskreditkan Tentara Nasional Indonesia.
Dalam kasus itu, tim penyidik Polri menangkap tiga orang, yaitu DA alias Andika (34), MA alias Marrio Marrianto Rossoneri (36), dan AR alias Rohman Abd (32). Mereka adalah penyebar utama video itu hingga menjadi viral di media sosial, terutama Facebook, serta dark social, misalnya WhatsApp dan Telegram.
Kasubdirektorat II Tindak Pidana Siber Bareskrim Komisaris Besar Rickynaldo Chairul mengungkapkan, penyebaran video dan narasi disinformasi itu bertujuan untuk memengaruhi citra lembaga negara di masyarakat. Utamanya, untuk menganggu soliditas TNI-Polri yang selama ini telah berjalan baik.
“Kami menemukan sejumlah disinformasi yang disebarkan memiliki maksud tertentu. Untuk itu, kami terus berupaya melakukan profiling di media sosial dan dark social terhadap penyebaran konten hoaks untuk meredam dampak buruk dari penyebaran informasi bohong itu,” ucap Rickynaldo.
Aribowo menyebutkan, pihaknya melakukan pengecekan fakta terhadap 21 artikel disinformasi terkait aksi demo mahasiswa, akhir September lalu. Konten utama disinformasi itu berkaitan dengan mahasiswa yang menjadi korban hingga dugaan tindakan brutal yang dilakukan aparat keamanan.
Dari sejumlah disinformasi itu, lanjut Aribowo, memang hadir kesan ada upaya untuk memecah belah TNI dan Polri. “Berita bohong itu bertujuan untuk memicu masyarakat bertindak semaunya atau melanggar aturan dan memancing aparat agar rusuh karena didasari kebencian yang telah disebar di media sosial,” katanya.