JAKARTA, KOMPAS - Keberadaan empat anggota DPRD Kabupaten Sarolangun, Jambi 2019-2024 yang ditengarai tanpa kejelasan status partai bernaung saat mengikuti proses pemilihan masih dipertanyakan. Hingga sejauh ini, hal tersebut merupakan kasus pertama dan satu-satunya yang terjadi di Indonesia.
Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jambi Wein Arifin saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (9/10/2019) mengatakan kronologi kasus itu dimulai pada saat penetapan Daftar Calon Tetap (DCT). Penetapan itu dilakukan pada 20 September 2018.
Terdapat tujuh anggota DPRD Sarolangun periode 2014-2019 yang memutuskan pindah partai. Mereka hendak maju kembali dalam ajang pileg untuk bertarung menduduki jabatan periode 2019-2024.
Wein mengatakan, di antara syarat terkait keinginan itu adalah surat pengunduran diri dari anggota DPRD. Selain itu surat penyataan dari Ketua DPRD atau Sekretaris DPRD bahwa surat pengunduran diri tersebut sedang diproes.
Tanggal 27 September 2018 terbit surat keputusan (SK) Gubernur Jambi yang intinya memberhentikan tujuh orang tersebut dari keanggotaan DPRD Sarolangun. Lantas ketujuhnya menggugat SK Gubernur tersebut ke PTUN Jambi. Putusan keluar pada 27 Desember, berupa pembatalan SK Gubernur terkait.
Merespon putusan tersebut, KPU setempat menerbitkan surat keputusan untuk mencoret ketujuhnya dari DCT pada bulan Februari 2019. Dua kali sengketa yang diajukan para pemohon ke Bawaslu Kabupaten Sarolangun dan Bawaslu Jambi menguatkan keputusan KPU.
Lalu putusan KPU tersebut diajukan bandingnya ke PTUN Jambi pada 1 April 2019. Persidangan cepat berakhir dengan putusan pada 12 April 2019 yang memutuskan dibatalkannya SK KPU terkait perncoretan anggota-anggota DPRD petahana itu.
Maka dengan demikian, mereka pun resmi berkontestasi pada Pemilu serentak 2019, 17 April 2019. Empat orang lalu terpilih dari proses tersebut. Pelantikan telah dilakukan pada 30 Agustus lalu, sekalipun terdapat keberatan dari sejumlah pihak.
Menurut Wein, pihak-pihak yang keberatan melaporkan hal tersebut ke Bawaslu. Akan tetapi persidangan dilakukan setelah pengucapan sumpah dan janji sebagai anggota DPRD. Menurutnya, itu membuat perkara sudah berada di luar lingkup penyelenggaraan pemilu.
Kasus tersebut, imbuh Wein, saat ini tengah diajukan kembali ke PTUN Jambi. Sebagian penggugatnya merupakan calon anggota legislatif dengan perolehan suara terbanyak berikutnya.
Menurut Wein, status para anggota DPRD tersebut cenderung ganda ketika DCT ditetapkan pada 20 September 2018. Status mereka, dengan demikian menjadi tidak jelas pada saat itu.
“Dia (anggota DPRD terkait) double (status) ketika ditetapkannya DCT (pada) September 2018 sampai dilantik, ini mewakili siapa (partai apa)? Karena partai pindah (pindah keanggotaan partai). (Tapi) masih terima hak, punya kewenangan, honor, gaji, dan sebagainya. Padahal sudah pindah parpol dan mengundurkan diri,” sebut Wein.
Salah seorang anggota DPRD Sarolangun terkait, M. Syaihu, saat dihubungi pada hari yang sama belum merespon panggilan telepon. Demikian pula pesan singkat yang dikirimkan belum kunjung dibalas.
Syaihu merupakan Ketua DPRD Sarolangun periode 2014-2019 yang berasal dari PDIP. Saat ini Syaihu terpilih lagi sebagai anggota DPRD Sarolangun periode 2019-2024 dari Partai Demokrat.
Terkait dengan hal tersebut Komisioner Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta pada hari yang sama mengatakan bahwa pihaknya tidak dalam posisi untuk mengomentari kasus. Hal itu membuat KY belum bisa masuk ke dalam penanganan hal tersebut.
“Jika sudah ada kesalahan sehingga menunjukkan hakim tidak profesional, kami baru bisa masuk,” sebut Sukma.
Sebelumnya, Komisioner Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan diperlukan pengawasan lebih intensif agar kasus yang pertama kali dan satu-satunya di Indonesia itu tidak terulang lagi. Selain itu, imbuh Bagja, diperlukan pedoman terhadap penanganan perkara-perkara tata usaha negara oleh Mahkamah Agung.
Adapun menurut Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar, hal tersebut terjadi menyusul kurangnya tahapan verifikasi pada masa pencalonan dilakukan. Menurutnya hal itu serupa dengan temuan riset ILR terkait sejumlah kasus pidana pemilu akibat penggunaan ijazah palsu yang baru dipersoalkan setelah penetapan.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.