Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menangkap kepala daerah dalam operasi tangkap tangan. Kali ini KPK menahan Bupati Indramayu Supendi karena dugaan pengaturan proyek.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menetapkan Bupati Indramayu 2014-2019 Supendi sebagai tersangka kasus korupsi pengaturan proyek Pemerintah Kabupaten Indramayu tahun 2019. KPK menangkap Supendi dalam operasi tangkap tangan, Senin (14/10/2019) malam.
Supendi merupakan kepala daerah ke 121 ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK. Ironisnya, Supendi ditangkap kurang dari sepuluh hari setelah KPK menangkap Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara, Minggu (6/10/2019). Agung ditangkap di rumah dinasnya karena diduga menerima suap terkait proyek Dinas Koperasi, Industri, dan Perdagangan Kabupaten Lampung Utara.
“KPK cukup prihatin harus menyampaikan informasi kegiatan tangkap tangan yang kembali menjerat kepala daerah yang jaraknya hanya sekitar satu minggu dari kepala daerah yang terakhir ditangkap. Bupati Indramayu menjadi kepala daerah ke-48 yang ditangkap tangan oleh KPK,” ujar Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, di Jakarta, Selasa (15/10/2019).
Selain Supendi, KPK juga menetapkan status tersangka kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Indramayu, Omarsyah dan Kepala Bidang Jalan di Dinas PUPR Kabupaten Indramayu, Wempy Triyono sebagai penerima. Sementara tersangka yang diduga sebagai pemberi, yakni dari kontraktor pelaksana proyek pekerjaan pada dinas PUPR Kabupaten Indramayu, Carsa AS.
Dalam tangkap tangan yang dilakukan KPK Senin (14/10/2019) malam, tim KPK menyita uang dengan total sebesar Rp 685 juta. Pemberian uang dari Carsa AS diduga terkait dengan pemberian proyek-proyek dinas PUPR Kabupaten Indramayu.
Supendi diduga sering meminta sejumlah uang kepada Carsa AS yang diduga dimulai sejak bulan Mei 2019 sejumlah Rp 100 juta. Carsa AS tercatat mendapatkan tujuh proyek pekerjaan di Dinas PUPR Kabupaten Indramayu dengan nilai proyek total kurang lebih Rp 15 miliar yang berasal dari APBD murni.
Tujuh proyek pembangunan jalan dikerjakan oleh Perusahaan CV Agung Resik Pratama atau dalam beberapa proyek pinjam bendera ke perusahaan lain di Kabupaten Indramayu. Proyek-proyek tersebut, antara lain pembangunan Jalan Rancajawad, Jalan Gadel, Jalan Rancasari, Jalan Pule, Jalan Lemah Ayu, Jalan Bondan-Kedungdongkal, dan Jalan Sukra Wetan-Cilandak.
Pemberian yang dilakukan Carsa AS pada Supendi, dan Pejabat Dinas PUPR diduga merupakan bagian dari komitmen fee sebesar 5-7 persen dari nilai proyek. Supendi diduga menerima total Rp 200 juta, Omarsyah diduga menerima Rp 350 juta dan sepeda, sementara Wempy Triyono diduga menerima Rp 560 juta.
“Uang yang diterima OMS (Omarsyah) dan WT (Wempy Triyono) diduga juga diperuntukkan untuk kepentingan Bupati, pengurusan pengamanan proyek dan kepentingan sendiri,” ujar Basaria.
Jangan hanya berharap pada KPK
Basaria menyampaikan, perlu adanya kerja sama dan keterlibatan dari kementerian, lembaga, bahkan masyarakat untuk mencegah terjadinya korupsi. “Setiap kita harus sadar terhadap lingkungan sekitar untuk menciptakan pemerintah yang bersih,” katanya.
Selama ini, KPK pun terus berupaya untuk meningkatkan kapabilitas para aparat pengawas internal pemerintah. Khususnya agar mereka lebih berani dalam menegur kepala daerahnya yang mencoba korupsi.
“Kami juga merekomendasikan agar APIP tidak ditunjuk oleh kepala daerah setempat tetapi ditunjuk oleh kepala daerah yang satu tingkat di atasnya. Jadi untuk tingkat bupati dan walikota, ditunjuk oleh gubernur, sementara APIP untuk gubernur ditunjuk oleh menteri,” kata Basaria.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, berulangnya tangkap tangan kepala daerah oleh KPK menunjukkan tidak adanya niat dari kepala daerah untuk memajukan daerahnya.
Menurut Endi, ada dua pilihan untuk mengatasi kerawanan korupsi, yaitu penataan kekuasaan daerah dengan mengurangi kewenangan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian. Selain itu, bisa tetap dengan kewenangan yang ada namun pencegahan harus diperkuat, salah satunya melibatkan pemerintah pusat.
“Misalnya dalam pengadaan barang dan jasa, maka harus ada proses di mana mekanisme tender atau pengadaan barang/jasa itu melibatkan pihak pemerintah pusat, yaitu Kementerian Dalam Negeri untuk memberi rekomendasi,” ujar Endi.