Nilai-nilai Islam moderat diyakini akan menopang Indonesia Emas tahun 2045.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai-nilai Islam moderat diyakini akan menopang Indonesia Emas tahun 2045. Penghargaan terhadap kebinekaan, budaya, dan nilai-nilai Pancasila serta demokrasi yang kompatibel dengan Islam adalah modal untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Maju pada usia kemerdekaan yang ke-100 tahun.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj dalam pidato kebudayaan yang disampaikan dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional ke-5, Selasa (22/10/2019), di Gedung Kesenian Jakarta, mengingatkan imajinasi tentang Islam dan keindonesiaan itu perlu direnungkam oleh semua pihak untuk menuju Indonesia Maju pada 2045.
Hadir dalam acara itu, antara lain, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, dan Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhammad Hasanuddin Wahid, rohaniwan Fraz Magnis-Suseno, serta sejumlah perwakilan negara sahabat.
Refleksi tentang Islam dan keindonesiaan itu terpampang dalam empat pokok pikiran yang disampaikan KH Said Aqil Siroj. Empat pokok pikiran itu ialah Islam dan kebudayaan, Islam dan kebinekaan, Islam dan negara, serta Islam Indonesia sebagai rujukan. Keempat pokok pikiran itu menjadi substansi dari posisi NU dalam mengimajinasikan Indonesia yang diperjuangkan santri dan ulama sejak Revolusi Jihad dicetuskan 74 tahun lalu.
Dalam kaitannya dengan budaya, Islam datang ke Nusantara tidak untuk menentang atau membumihanguskan budaya dan adat yang sebelumnya ada di pertiwi. Namun, adat dan budaya itu justru menjadi infrastruktur bagi berkembangnya dakwah Islam yang damai.
Demikian halnya dengan kebinekaan. ”Islam memberikan jaminan akan tumbuhnya kebinekaan. Maka dari itu, saya ingin mengajak seluruh pemuka agama untuk saling bergandengan tangan, bekerja sama untuk menciptakan Indonesia dan dunia yang damai, aman, tenteram, dan rukun,” kata Said.
Dalam konteks kekinian di mana banyak keinginan untuk menerapkan formalisasi syariat Islam, menurut Said, tidak didasarkan pada rujukan yang sahih. NU juga telah menegaskan komitmennya pada pada asas tunggal Pancasila sejak Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur.
”Islam hanya memberikan prinsip-prinsip dasar bagaimana kepemimpinan harus melindungi segenap warganya, mengangkat harkat dan martabat bangsanya, menjamin pemenuhan hak-haknya,” ungkap Said.
Dengan konsep Islam yang kompatibel dengan nasionalisme dan demokrasi, lanjut Said, Islam di Indonesia bisa menjadi rujukan bagi Islam di dunia secara umum.
Dua alasan
Ketua PBNU Robikin Emhas mengatakan, sebagai organisasi kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama didesain untuk dua alasan, yakni memanggul tanggung jawab bidang keagamaan dan bidang kebangsaan.
Dalam bidang keagamaan, NU memiliki peranan untuk menyebarkan paham keagamaan yang moderat dan toleran. Hal ini, antara lain, juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW saat berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Di Madinah yang masyarakatnya plural, Rasul tidak memaksakan Islam untuk dianut semua masyarakat, tetapi menghargai perbedaan.
”Nabi tidak mendirikan negara Islam, melainkan negara Madinatul Munawwarah, yakni negara yang berperadaban, plural, dan heterogen,” ujar Robikin.
Dalam bidang kebangsaan, NU memiliki tugas memastikan agar kesepakatan yang dibangun tetap terpelihara dengan baik di dalam konsep keagamaan yang dapat bersimbiosis dengan kebangsaan dan kompatibel dengan demokrasi. ”Perbedaan tidak boleh dijadikan alasan atau alat untuk saling menegasikan satu sama lain,” ujarnya.
Dalam dua konteks itulah pidato kebangsaan KH Said Aqil Siroj menemukan relevansinya, terutama ketika banyak pihak kini berebut posisi dan kedudukan politik. PBNU tetap konsisten dalam jalan dan strategi kebudayaan untuk menjalankan dua peranan utamanya.
Demikian halnya tantangan yang dihadapi PBNU pun tidak mudah, karena paham-paham ekstremisme menyebar melalui teknologi dan media sosial. Kader-kader NU pun berupaya mengambil peran mengembangkan narasi yang damai dan moderat melalui sarana medsos, sekalipun belum maksimal dilakukan.
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Masduki Baidlowi mengatakan, dari sekitar 267 juta penduduk Indonesia saat ini, sebanyak 157 juta di antaranya telah terbiasa mengakses internet dan memiliki telepon pintar. Mereka yang mengakses internet umumnya adalah generasi milenial dan generasi Z. Untuk menjangkau generasi muda itu, NU perlu mengubah cara dakwah supaya mudah diterima. Upaya ini dilakukan NU, antara lain, melalui madrasah kader NU yang dilakukan hingga di cabang-cabang NU di daerah.
”NU jangan sampai berada di posisi nyaman dan seperti kisah katak yang tidak terasa berada di panci panas, dan ketika ia menyadari ternyata sudah terlambat,” kata Masduki.
Ketua Asosiasi Pesantren PBNU (Robithoh Ma\'ahid Islamiyyah/RMI) Abdul Ghofarrozin dan Sekjen Ikatan Sarjana NU (ISNU) Kholid Syeirazi mengatakan, pendidikan dan pesantren menjadi kunci kekuatan dalam menghadang ekstremisme dan radikalisme. Terlebih lagi paham ekstrem itu kerap kali menyebar melalui medsos.
”Tidak mudah untuk menghadang ekstremisme melalui medsos karena ini memerlukan kerja sama banyak pihak, antara lain dengan memberdayakan 6 juta santri, 23.300 pesantren, dan 90 juta keluarga besar pesantren. Strategi kebudayaan pesantren harus menari dalam satu pukulan gendang dengan pembangunan SDM, dan peningkatan kesadaran medsos,” kata Rozin.