Susunan Kabinet Jokowi Tak Sesuai Cita-cita Reformasi
Oleh
Ingki Rinaldi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Susunan anggota Kabinet Indonesia Maju dinilai bertentangan dengan perjuangan nilai-nilai reformasi. Kembalinya pengaruh tentara dan polisi dalam panggung politik yang ditunjukkan dengan keberadaan kedua unsur tersebut di struktur kabinet menjadi alasannya.
Dengan demikian, menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Parlemen pada Kamis (24/10/2019), pengaruh tentara dan polisi dalam kehidupan sosial juga akan makin kuat. Hal ini sebagaimana terjadi di rezim Orde Baru.
“Ini bertentangan dengan reformasi,” kata Jeirry dalam diskusi bertema "Kabinet Tanpa Oposisi: Nasib Negeri di Era Oligarki Partai" tersebut.
Jeirry mengatakan, perbedaannya adalah masa Orde Baru berada di bawah rezim otoriter yang meniadakan kebebasan. Sementara saat ini, menurutnya, terdapat iklim kebebasan namun pelan-pelan praktik oligarki dan otoritarianisme dalam bernegara dan bermasyarakat menguat.
Lebih jauh pendiri Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menambahkan kabinet Indonesia Maju sebagai bentuk oligarki politik dan praktik nepotisme. Ini menyusul masuknya sejumlah kerabat sebagian ketua partai politik di dalam struktur kabinet.
“Susah Jokowi (kita) sebut punya independensi dalam menyusun kabinet,” kata Ray.
Penegakan HAM
Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto pada kesempatan yang sama mengatakan, kabinet kompromistis dengan prioritas pada ekonomi itu mengorbankan sejumlah hal. Salah satu hal yang dikorbankan, agenda demokratisasi dan penegakan hak asasi manusia.
Arif menilai, masuknya sejumlah tokoh militer dan polisi ke dalam kabinet juga menandakan upaya Jokowi untuk menghadapi tekanan dari partai-partai politik. Hal ini menyusul posisi Jokowi yang bukan ketua partai politik dan mesti menghadapi kenyataan untuk berhadapan dengan sejumlah ketua partai politik dalam koalisinya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz pada kesempatan yang sama melihat koalisi yang dibangun pemerintah dengan Partai Gerindra yang ditandai dengan bergabungnya Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan harus dimaknai secara strategis. Ia menyebutkan bahwa koalisi tersebut berpotensi hanya akan efektif selama tiga tahun pertama.
Selanjutnya, imbuh August, partai-partai politik akan mengejar kepentingannya masing-masing untuk berkontestasi dalam Pemilu 2024. Hal ini membuat pembahasan sejumlah undang-undang strategis usulan pemerintah yang membutuhkan dukungan di parlemen, idealnya segera dikerjakan dalam kurun waktu tiga tahun pertama.