Jokowi Dinilai Kembali Mengecewakan Korban Pelanggaran HAM Berat
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Puluhan payung hitam yang dipegang para aktivis Hak Asasi Manusia kembali berderet di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (24/10/2019) sore. Berbagai tulisan harapan akan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat terpatri jelas di sisi luar payung.
Pada punggung payung-payung itu tampak sejumlah tulisan berbunyi: "Tuntaskan Kasus HAM Berat Masa Lalu, Tuntaskan Tragedi Trisakti 12 Mei 1998, Tuntaskan Tragedi 1965". Kini memasuki Kamis yang ke-607 sejak 2007, yang disebut sebagai “Hari Kelam bagi HAM", tepat sehari setelah pengumuman Kabinet Indonesia Maju pada Rabu (23/10).
"Awalnya saya percaya penuh (Presiden Joko Widodo dapat menyelesaikan pelanggaran HAM berat), bahkan sampai saya merefleksi enggak perlu lagi aksi kamisan saat Pak Jokowi terpilih sebagai Presiden pada 2014," ujar Sumarsih.
Sumarsih, yang bernama lengkap Maria Catarina Sumarsih merupakan ibu Benardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya. Wawan tewas tertembak dalam Tragedi Semanggi I pada 1998.
Saat ditemui di depan Istana Merdeka, Sumarsih menceritakan, selama sekitar dua bulan setelah terpilihnya Jokowi sebagai Presiden pada 2014, dia sempat tidak ikut aksi kamisan. Namun, setelah mendapat masukan dari teman-teman Wawan, aksi kamisan kembali diadakan.
Terlebih saat Wiranto ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM pada Juli 2016. Disusul saat ini, Jokowi menjadikan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju.
"Pada prinsipnya, saya enggak pernah merasa harapan saya pupus. Sekecil apapun (harapan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat) akan tetap saya pelihara," tutur Sumarsih yang telah berdiri di seberang istana sejak 2007.
Tak dipungkiri, semasa pemerintahan dalam periode pertama, Jokowi sempat beberapa kali menyatakan komitmennya untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat. Mulai saat kampanye, dalam Nawa Cita, saat pidato kenegaraan pada 2018, bahkan sempat mengundang para korban dan keluarga pelanggaran HAM berat ke Istana.
Halilintar di siang bolong
Namun, tak satu kasus yang diselesaikan. Korban Tragedi 1965, Bedjo Untung juga menyampaikan kekecewaannya kepada Jokowi yang dinilai tidak belajar dari pengalaman memimpin selama lima tahun lalu.
Terutama lagi ketika Presiden Jokowi memilih Prabowo masuk dalam jajaran kabinet. "Saya kecewa sekali karena terduga pelanggar HAM berat, yaitu Prabowo, masuk jajaran kabinet, bahkan menduduki kursi penting. Ini betul-betul seperti halilintar di siang bolong yang tak pernah saya prediksi sebelumnya," ujar Bedjo.
Kekecewaan pun datang dari Paian Siahaan, ayah Ucok Munandar Siahaan, korban penghilangan paksa kasus 1998 ketika usianya baru memasuki 17 tahun. “Prabowo sebagai Menteri Pertahanan jelas sangat menyakiti hati kami, para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM berat,” ucap Paian.
Ingkar
Staf Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya menegaskan, Jokowi telah mengingkari semangat mewujudkan supremasi dan akuntabilitas hukum. Sebab, menempatkan para terduga pelanggar HAM berat di level kementerian.
"Para jenderal purnawirawan harusnya membersihkan dulu nama mereja dengan memenuhi panggilan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Buktikan kalau memang tidak bersalah di pengadilan HAM sebelum diangkat menjadi menteri," kata Dimas.
Menurut catatan Kompas, 24 Agustus 1998, Letjen TNI Prabowo Subianto (46) diberhentikan dari dinas kemiliteran. Keputusan itu diumumkan Menteri Pertahanan/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto di Mabes ABRI Jakarta setelah mempelajari masukan Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Memang Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu atasan administratif dan pembinaan dari Kopassus. Namun, yang memberikan perintah untuk tindakan operasional adalah Pangab. Kalau Prabowo bilang ia mendapat perintah dari atasan, maka atasannya secara hirarki reguler adalah Pangab (Kompas, 25/08/1998).
Titik kelam
Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur menyampaikan, penempatan Prabowo sebagai Menhan bukanlah hal sepele, namun sangat serius. Hal ini menandakan titik hitam kelam bagi Bangsa Indonesia.
"Kejadian ini menunjukkan Pak Jokowi menutup erat harapan dari para korban. Jokowi di 5 tahun periode pertamanya jelas gagal memenuhi janji untuk membawa pelaku pelanggar HAM ke meja hijau. Ke depan pun kemungkinannya kecil," ujar Isnur.
Meski begitu, Isnur menyatakan masyarakat tidak akan pernah berhenti dan menyerah untuk menuntut agar negara membongkar, mengungkap, dan menyidangkan para pelaku pelanggar HAM berat. "Kamis demi Kamis, kami akan berdiri sampai negara mendengar," tegasnya.
Kompas meminta langsung tanggapan Prabowo terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Namun, Prabowo tidak merespon apa pun.