JAKARTA, KOMPAS - Putusan Mahkamah Konstitusi kerap belum diimplementasikan dengan baik di lapangan, lantaran minim pengetahuan atas isi putusan. Kondisi itu di sisi lain juga menyebabkan adanya permohonan uji materi yang sama atas ketentuan yang telah diputus oleh mahkamah. Kendati demikian, ada unsur-unsur lain yang menyebabkan ketidakpastian hukum dialami oleh pemohon.
Ketidakpastian hukum itu sebagaimana dialami oleh dua pemohon dari Jawa Timur, yakni Andrias Lutfi Susiyanto dan Evan Waluyo Rostanadji yang mengajukan uji materi atas keseluruhan isi Pasal 109 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kedua pemohon menyoal tidak adanya batas waktu penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian, sehingga nasib mereka yang kini sama-sama menjadi tersangka dalam kasus yang berbeda menjadi belum jelas, atau terkatung-katung.
"Kami sebenarnya mempersoalkan tidak adanya batas waktu penyidikan ini, sehingga sampai kapan klien kami menjadi tersangka itu tidak jelas. Pemohon 1 (Andrias), misalnya, telah 20 bulan menjadi tersangka, atau hampir dua tahun. Namun, penyelesaian perkaranya belum jelas hingga sekarang. Begitu pula pemohon 2 (Evan), yang telah ditahan selama 4 bulan, dan sudah menjadi tersangka selama 11 bulan," ujar Yassiro Ardhana Rahman, kuasa hukum dua pemohon, Senin (28/10/2019) di Jakarta.
MK menggelar sidang perdana permohonan itu, Senin. Panel yang memeriksa sidang terdiri atas ketua majelis I Dewa Gede Palguna, dan dua anggota, yakni Enny Nurbaningsih.
Majelis hakim mengingatkan pasal 109 Ayat (1) yang berbunyi, "Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum," telah diputus oleh MK dalam putusan Nomor 130/PUU-XIII/2015. MK menyatakan pasal itu bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat, sepanjang frasa "penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum" tidak dimaknai "penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan."
Dengan putusan MK itu, penegak hukum diharapkan memberikan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan (sprindik) kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor. Ketidakpastian hukum sebagaimana dipersoalkan kembali oleh dua pemohon dari Jatim itu seharusnya tidak terulang.
Palguna mengingatkan pemohon, sikap mahkamah telah jelas mengenai penghentian penyidikan dan batas waktu penyidikan di dalam putusan No 130/PUU-XIII/2015. Dalam perbaikan permohonannya, pemohon diharapkan mempertimbangkan putusan MK itu sebagai komparasi dengan permohonan yang mereka ajukan. Pemohon diminta memperkuat argumen mereka yang sekiranya berbeda dengan permohonan terdahulu.
"Jangan sampai juga permohonan pemohon sia-sia, karena sikap mahkamah telah tegas mengenai hal ini," katanya.
Dalam putusan terdahulu, selain mengatur SPDP harus disampaikan paling lambat 7 hari setelah sprindik dikeluarkan, MK juga menolak untuk mengatur batas waktu penyerahan berkas dari penyidik ke penuntut umum. Menurut MK, kelengkapan berkas dari penyidik ke penuntut umum itu sepenuhnya tergantung pada penilaian jaksa. Oleh karena itu, pihak yang paling berwenang untuk menilai suatu berkas penyidikan telah siap untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak ialah jaksa. Sebab, pada kondisi tertentu, yakni demi hukum dan kepentingan umum, jaksa juga bisa tidak meneruskan suatu perkara ke pengadilan.
Pemohon perkara No 130/PUU-XIII/2015 ialah Choky Risda Ramadhan, Carolus Boromeus Beatrix Tuah Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto. Mereka mengajukan uji materi atas Pasal 14 Huruf b, Pasal 109 Ayat (1), pasal 138 Ayat (1) dan (2), Pasal 139, dan Pasal 14 Huruf I.
Dalam pertimbangannya, MK hanya mengabulkan sebagian permohonan pemohon, yakni yang terkait dengan Pasal 109 Ayat (1) KUHAP. Namun, dalam pertimbangan putusannya, MK antara lain juga menyebutkan, kewenangan penegak hukum dalam penuntutan tidak boleh membuat berlarut-larutnya pelimpahan perkara ke pengadilan.
Kepastian status
Majelis hakim panel dalam sidang kemarin, antara lain menekankan para pemohon uji materi UU 8/1981 untuk meninjau kembali putusan tersebut. Sekalipun pasal yang diajukan uji materi tidak sepenuhnya sama dengan yang diajukan oleh pemohon dalam perkara No 130/PUU-XIII/2015, tetapi substansi permohonan mereka memiliki persamaan, yakni terkait dengan kepastian status para pemohon sebagai tersangka.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, kerap kali putusan MK belum banyak diketahui oleh publik. Kondisi ini membuat implementasi putusan MK juga tidak selalu mulus di lapangan. Ketidakpastian hukum yang dialami dua pemohon dari Jatim semestinya tidak terjadi bilamana warga, termasuk penegak hukum nengikuti ketentuan di dalam putusan MK. Tidak hanya yang disebutkan di dalam amar putusannya, tetapi juga dalam pertimbangannya.
"Salah satu problem dalam hidup berkonstitusi kita ialah impelementasi putusan MK, yang rupanya belum sepenuhnya dipatuhi oleh warga negara. Penyebab kepatuhan terhadap putusan MK itu belum maksimal antara lain masih banyak pihak yang belum mengetahui isi putusan, atau barang kali sudah mengetahui tetapi dengan kepentingan tertentu tidak melaksanakannya," kata Veri.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.