Pembahasan RKUHP Diprioritaskan
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat akan mulai membuat agenda dan jadwal kegiatan Senin (4/11/2019) ini. Pembahasan rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP) akan menjadi salah satu prioritas pembahasan komisi yang menangani soal hukum tersebut.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), I Wayan Sudirta, mengatakan, pertemuan resmi anggota Komisi III DPR memang baru diagendakan Senin besok. Namun, sejumlah usulan dan masukan secara informal dari para anggota menunjukkan adanya keinginan untuk memprioritaskan pembahasan RKUHP.
Salah satu pertimbangannya ialah karena pasal per pasal dari RKUHP itu telah dibahas oleh periode DPR sebelumnya. Kepastian mengenai pembahasan dan agendanya secara detail akan diputuskan bersama dalam rapat komisi.
Ada banyak pertimbangan dalam pembahasan itu nantinya yang tinggal menyesuaikan bagaimana antara usulan-usulan baru yang masuk dengan kebutuhan. Poin-poinnya belum dibahas detail, tetapi dari pertemuan-pertemuan antaranggota secara informal memang ada masukan untuk memprioritaskan RKUHP.
RKUHP merupakan salah satu undang-undang yang pembahasannya diteruskan melalui mekanisme carry over. Mekanisme ini ditempuh setelah adanya revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang disetujui DPR 2014-2019. UU yang belum selesai pembahasannya dalam satu periode legislasi bisa diteruskan pada periode selanjutnya.
Rencana pengesahan RKUHP antara lain yang memicu unjuk rasa di depan gedung DPR, beberapa titik di Jakarta, dan sejumlah daerah oleh mahasiswa dan siswa sekolah, 23-25 September 2019. Pengunjuk rasa meminta sejumlah legislasi tidak disahkan, antara lain RUU KUHP, RUU KPK, RUU Pertanahan, dan RUU Ketenagakerjaan. Dua mahasiswa Universitas Haluoleo, Kendari, meninggal dalam rangkaian aksi tersebut, yakni Immawan Randy dan Muhammad Yusuf Kardawi.
37 Pasal Krusial
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengingatkan, sejumlah pasal bermasalah harus menjadi perhatian dalam pembahasan kembali RKUHP oleh pemerintah dan DPR. ICJR sendiri mendata sedikitnya 37 pasal berpotensi bermasalah karena bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, asas kebebasan sipil dan hak asasi manusia (HAM), serta semata-mata bersifat punitif tanpa mengindahkan solusi lain yang lebih baik dari aspek yang berbeda.
Pasal mengenai penghinaan kepada presiden, menurut Anggara, salah satu contohnya yang harua dirumuskan kembali, sehingga tidak menjadi pasal yang membungkam kritik kepada presiden. Batasan mengenai penghinaan itu pun semestinya lebih jelas, karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan pasal serupa di dalam KUHP yang lama.
"Dari 37 pasal itu yang kami inventarisir dari daftar inventarisasi masalah (DIM) RKUHP sebelumnya semua penting, karena menyangkut hak-hak warga negara secara langsung. Sebagai contoh ialah penghinaan kepada badan umum, perluasan pasal perzinahan, dan penghinaan kepada peradilan (contempt of court), yang semuanya penting dirumuskan kembali," kata Anggara.
Oleh karena RKUHP sebagai buku induk bagi pengaturan hukum pidana yang mengatur hampir semua aspek kehidupan warga negara saat berkaitan dengan pihak lain maupun negara, menurut Anggara, pendekatannya pun sebaiknya tidak hanya tunggal, yakni pidana semata. Tim perumus RKUHP saat ini yang dibentuk pemerintah sebagian besar isinya adalah ahli hukum pidana.
Untuk memberi bobot yang lebih luas dalam kajian dan pertimbangan perumusan norma, idealnya tim perumus RKUHP juga diisi oleh ahli hukum di bidang lain, seperti tata negara, perdata, administrasi, serta kelompok-kelompok keahlian lain yang spesifik, semisal pemerhati perempuan dan anak, ahli kesehatan, ahli lingkungan, dan bidang lain yang relevan.
"Soal korban perkosaan dan aborsi, ini juga tidak bisa serta-merta didekati dengan pendekatan punitif, sebab banyak aspek melingkupi, termasuk kondisi kesehatan, psikososial korban, dan hak-hak perempuan," kata Anggara.
Pelibatan banyak pihak dalam tim perumus KUHP, baik dengan dijadikan anggota tim, maupun dilibatkan secara intens dalam pembahasan dan pertimbangan penyusunan norma juga akan menentukan bisa tidaknya regulasi itu diterima publik. Peristiwa unjuk rasa yang memakan korban 23-25 September 2019 sebaiknya juga menjadi bahan refleksi bersama supaya tidak terulang.
"Pelibatan sebanyak mungkin orang dalam pembahasan dan diskusi yang terbuka akan membuat penyusunan RKUHP ini lebih solutif. Sebagai contohnya pelibatan sosiolog, psikolog, dan ekonom, yang bisa membantu menjelaskan implikasi dari suatu ketentuan bila diterapkan," kata Agustinus Pohan, pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Sejumlah peraturan yang ada di dalam draft RKUHP sebelumnya juga harus kembali disisir satu per satu. Salah satunya yang terkait dengan pasal-pasal yang semestinya bisa diatur di dalam peraturan daerah, seperti gelandangan, hewan ternak yang masuk ke pekarangan orang, hingga pidana bagi tukang gigi.
Belajar dari pengalaman DPR 2014-2019 yang membahas RKUHP, menurut Agustinus, sosialisasi yang baik amat diperlukan. Selain itu, pengesahan UU sebaiknya tidak dikejar target guna menghindari kesan dipaksakan.