Transparansi dan Pengawasan Keuangan Parpol Perlu Ditingkatkan
Transparansi dan kemauan partai politik untuk mematuhi peraturan terkait mekanisme pengawasan dan sanksi dana bantuan keuangan menjadi kunci keseimbangan hubungan antara partai politik dan kader dan simpatisan.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transparansi dan kemauan partai politik untuk mematuhi peraturan terkait mekanisme pengawasan dan sanksi dana bantuan keuangan menjadi kunci keseimbangan hubungan antara partai politik dan kader dan simpatisan. Hal ini menyusul adanya kekhawatiran bahwa bantuan keuangan dari pemerintah atau dana publik bagi partai politik yang dinaikkan cenderung bisa membuat relasi yang makin jauh antara partai politik dan para pendukungnya.
Peneliti Kode Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, Kamis (14/11/2019), mengusulkan perlunya pembatasan sumbangan dari pihak swasta. Jika ini tidak dilakukan, dikhawatirkan semangat dana bantuan keuangan parpol dari APBN akan sia-sia.
Ihsan menyebutkan, kemungkinan adanya relasi partai dengan para pendukungnya yang akan semakin jauh juga bisa saja terjadi. Padahal, jika melihat pada pelaksanaan pemilu serentak 2019, terdapat banyak kelompok masyarakat menengah bawah yang memberikan dukungan berupa uang kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden.
”Jika kenaikan (dana) banpol ini menutup keran partisipasi masyarakat untuk menyumbang, itu mungkin saja bisa menjadikan jarak antara masyarakat dengan parpol,” ujar Ihsan.
Hal ini akan cenderung berbeda dengan semangat yang diusung terkait kenaikan dana bantuan keuangan tersebut. Menurut Ihsan, ini karena yang menjadi poin penting adalah bagaimana caranya partai politik tidak dikuasai oleh segelintir kelompok elite yang mendanai partai politik.
Ihsan menambahkan, dengan demikian dalam tiga tahun ini, hal mendesak yang mesti disiapkan oleh partai politik bersangkutan adalah mendekatkan anggota partai dengan masyarakat. Selain itu, partai politik juga didorong untuk berubah menjadi lebih demokratis. Hal ini dinilai penting sebagai modal partai politik bersangkutan menyusul tidak adanya lagi calon petahana dalam Pilpres 2024 kelak.
Iuran keanggotaan
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor pada hari yang sama mengatakan, terkait kemungkinan relasi yang mengendur antara kader atau pendukung dan partai politik menyusul dikucurkannya dana publik, harus dilakukan inovasi dalam pemberian dana tersebut. Ia mengatakan bahwa sebaiknya dana publik bagi partai juga bisa menstimulus inovasi.
Misalnya, inovasi terkait mekanisme iuran dalam partai politik. Bentuk pemberian bantuan dana keuangan, dalam hal ini bisa dijadikan serupa insentif jika anggota partai tersebut mampu mendorong anggotanya memberikan iuran dalam persentase tertentu.
Dengan demikian, menurut Firman, pemberian dana bantuan tersebut tidak langsung begitu saja dilakukan. Dana bantuan politik itu dapat berupa insentif yang kegiatannya dapat menyehatkan partai.
Jika skema pemberian dana bantuan keuangan secara inovatif itu diterapkan, imbuh Firman, bisa saja dampaknya mempererat hubungan partai dengan kadernya. Dalam hal ini, kedua hal tersebut tidak harus didikotomikan.
”(Bantuan keuangan negara) Ini tidak berarti harus menutup pola hubungan parpol dengan kader. (Tapi) memang sebaiknya iuran digalakkan lagi agar ada loyalitas terhadap partai. Bukan loyalitas pada yang punya uang,” ujar Firman.
Ia menambahkan, bantuan keuangan dari negara atau dana publik yang dikucurkan itu tidak berarti partai bersangkutan mesti pro pemerintah. Bantuan keuangan itu merupakan insentif pemberdayaan dan apresiasi negara terhadap partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi.