JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Dalam Negeri akan berfungsi sebagai jangkar dalam implementasi omnibus law dalam bentuk Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pada sisi lain pemerintah didorong untuk mengadopsi alat atau metode penilaian dampak regulasi dalam pembuatan peraturan daerah.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik, Rabu (20/11/2019) usai diskusi yang diselenggarakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) di Jakarta mengatakan, fungsi sebagai jangkar akan dijalankan tatkala omnibus law diterapkan di daerah. Dalam diskusi bertajuk "Perda Bermasalah Hambat Investasi di Daerah" itu Akmal menyebutkan, pada akhirnya, omnibus law akan mencakup pula regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
“Tugas kami (Kemendagri) bersama Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) melakukan harmonisasi,” kata Akmal.
Harmonisasi yang dilakukan, tambahnya, termasuk kemungkinan sebagian konten perda atau bahkan seluruh perda dibatalkan. Sebab, dengan omnibus law, regulasi yang tumpang tindih akan dicabut.
Ia menyadari bahwa Kementerian Dalam Negeri, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, tidak berwenang untuk membatalkan peraturan daerah. Namun, terkait dengan putusan tersebut, pihaknya masih menunggu rumusan aturan baru dalam omnibus law
Perda Bermasalah
Sementara peneliti dan analis kebijakan KPPOD Henny Prasetyo mengungkapkan, pihaknya menemukan ada 347 perda bermasalah dari 1.109 perda yang dikaji. Beberapa persoalan berkenaan dengan sejumlah perda terkait investasi dan kegiatan berusaha. Masing-masing diantaranya proses pembentukannya minim partisipasi publik, ada pula permasalahan yuridis, substansi, dan prinsip.
Henny pada kesempatan yang sama mendorong agar pemerintah daerah mengunakan perangkat RIA (regulatory impact assessment) dalam penyusunan perda. Perangkat tersebut memastikan adanya analisis biaya-manfaat dalam proses sederhana berupa perumusan masalah kemudian tindak lanjut untuk diambil.
Henny menambahkan, faktor istimewa RIA adalah keberadaan konsultasi publik yang dilakukan. Hal ini membuat adanya tata kelola kebijakan yang ideal menyusul adanya pertanggungjawaban kepada publik.
Ia menambahkan, alat atau metode yang mulai dikenalkan di sejumlah daerah sejak 2018 itu belum bisa dimplementasikan. Pasalnya sejauh ini belum ada mandat dari kementerian untuk melakukan hal tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Akmal tidak banyak berkomentar. Ia hanya menyebutkan bahwa semestinya memang dibuat alat yang seperti itu.