Kemendagri Ingin Pelaksanaan Pilkada Langsung Ditinjau Ulang
Gagasan untuk menyelenggarakan pilkada asimetris dinilai bisa menyelamatkan kepercayaan sebagian masyarakat atas penyelenggaraan pilkada langsung selama ini.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gagasan untuk menyelenggarakan pilkada asimetris dinilai bisa menyelamatkan kepercayaan sebagian masyarakat atas penyelenggaraan pilkada langsung selama ini. Pada sisi lain, hambatan terkait pelaksanaan pilkada dianggap justru berpusar di kalangan elite alih-alih pada masyarakat.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik, Jumat (22/11/2019), mengatakan, saat ini melihat penyelenggaraan pilkada langsung harus dilakukan secara realistis. Bahkan, ia menilai, ada kecenderungan sebagian masyarakat tidak percaya lagi pada proses pilkada langsung.
Karena itulah, lanjut Akmal, untuk menyelamatkan penyelenggaraan pilkada langsung, pihaknya mengajak agar menggunakan pendekatan tidak sama (asimetris) dalam menyelenggarakan pilkada. Hal ini diperlukan sehingga bisa membangun kepercayaan di tengah masyarakat.
Ia menyebutkan, pemerintah mendukung pilkada langsung. Pemerintah, dalam hal ini Kemendagri, juga disebutkan Akmal bukan menjadi pihak yang menginginkan sebagian pilkada dikembalikan kepada DPRD.
Akan tetapi, ujarnya, saat ini muncul sejumlah suara keberatan di tengah masyarakat yang tidak menginginkan lagi pilkada langsung. Hal ini terutama setelah hasil pilkada di sebagian daerah tidak menunjukkan korelasi antara keinginan dan tujuan untuk beroleh pemimpin yang amanah, dengan fakta yang diterima.
Apalagi, kata Akmal, kebijakan melakukan pilkada langsung sudah dilaksanakan sejak 2005. Ia melihatnya sebagai hal wajar untuk meninjaunya kembali pada saat ini.
”Kan, sebuah kebijakan harus dievaluasi dari waktu ke waktu. Tidak bisa dibiarkan terus saat di lapangan menginginkan perubahan,” ucap Akmal.
Pemikiran berbahaya
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta mengatakan, hambatan pilkada bukan berada di masyarakat. Hambatan pikada, lanjutnya, berada di kalangan elite.
Ia mengatakan agar jangan menjadikan gagasan pilkada asimetris di seluruh Indonesia. Pemikiran ini dinilainya berbahaya.
”Berpikir demokrasi itu progresif, bukan regresif,” kata Kaka.
Disinggung mengenai Pilkada DI Yogyakarta yang tidak langsung, Kaka menyebutnya karena kesejarahan yang membuatnya tidak benar-benar demokratis. Sementara DKI Jakarta memerlukan kesatuan wilayah sebagai ibu kota sehingga pemilihan wali kota dilakukan dengan penunjukan oleh gubernur.
”Kalau memang sudah siap, malah dua-duanya harus disamakan dengan daerah lain,” ujar Kaka.
Senada dengan hal tersebut, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Kamrussamad, saat dihubungi pada hari yang sama, mengatakan, wali kota-wali kota di DKI Jakarta ditunjuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI. Sementara di DI Yogyakarta, gubernurnya diangkat dan ditunjuk sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DI Yogyakarta. Ia menyebutnya sebagai keberadaan aspek kesejarahan.
Kamrussamad mempertanyakan, apakah dengan demikian, jika pilkada asimetris dilakukan, harus dibuat payung hukum untuk setiap daerah. Sementara di sisi lain, Presiden Joko Widodo tengah menggulirkan penyederhanaan regulasi melalui pembuatan omnibus law.
Menurut Kamrussamad, terkait dengan wacana pilkada langsung asimetris tersebut, Komisi II DPR telah melakukan kunjungan ke Provinsi Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Sumatera Barat. Sejauh ini, belum ada pembicaraan tentang pilkada langsung asimetris.
”Karena belum pernah ada usulan resmi pemerintah ke parlemen tentang revisi UU Pilkada,” ucap Kamrussamad.
Ia menyebutkan, pilkada langsung dan pilkada asimetris bisa dilakukan asalkan tetap demokratis. Ini berarti, jika pemerintah mengusulkan revisi UU No 10/2016 tentang Pilkada dengan memasukkan usulan terkait pilkada asimetris, hal itu terbuka untuk diperdebatkan.