Calon Hakim MK Harus Pahami Isu HAM dan Antikorupsi
Dalam praktik negara hukum terdapat dua isu krusial yang semestinya dikuasai dan mendapatkan perhatian dari para calon hakim konstitusi, yakni isu hak asasi manusia dan antikorupsi.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Karakter negarawan sebagai syarat utama bagi calon hakim konstitusi mengandung makna luasnya perhatian mereka kepada isu-isu kebangsaan, kenegaraan, dan praktik negara hukum. Dalam praktik negara hukum tersebut terdapat dua isu krusial yang semestinya dikuasai dan mendapatkan perhatian dari para calon hakim konstitusi, yakni isu hak asasi manusia dan antikorupsi.
Pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STH) Jentera Bivitri Susanti di Jakarta, Selasa (3/12/2019) mengatakan, calon hakim konstitusi yang akan mengisi pos barunya di Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan merupakan seorang negawaran paripurna. Mereka tidak hanya memiliki pandangan luas mengenai hukum tata negara (HTN), perundang-undangan, konstitusi, dan juga isu kebangsaan dan kenegaraan secara umum, tetapi juga yang memahami praktik negara hukum yang menjunjung tinggi HAM serta sikap antikorupsi.
“Dalam melihat rekam jejak calon hakim MK, tidak cukup melihat bagaimana intergritas pribadi yang bersangkutan, tetapi juga dengan mengkaji bagaimana lingkaran-lingkaran sosial calon tersebut. Apakah lingkaran sosialnya dekat dengan koruptor dan pelanggar HAM, dan sebagainya,” kata Bivitri.
Pada tahun 2020, ada tiga hakim MK akan habis masa jabatannya, yakni I Dewa Gede Palguna (7 Januari 2020), Suhartoyo (7 Januari 2020), dan Manahan Sitompul (28 April 2020). Panitia seleksi yang dibentuk Presiden Joko Widodo sedang melakukan seleksi untuk mencari pengganti Palguna yang telah dua periode menjadi hakim MK.
Adapun untuk dua hakim lainnya dari unsur Mahkamah Agung (MA), yakni Suhartoyo dan Manahan telah dikirimkan surat pemberitahuan segera habisnya masa jabatan mereka. Namun, MA belum membentuk tim khusus untuk mencari pengganti mereka.
Terlepas dari institusi mana hakim konstitusi itu berasal, Bivitri mengatakan, upaya memastikan calon hakim konstitusi memahami isu HAM dan antikorupsi menjadi syarat penting dalam menemukan karakter “negarawan” yang harus mereka miliki. Alasannya, tantangan negara hukum Indonesia tidak lebih mudah, melainkan lebih sulit dengan ancaman kekerasan, pelanggaran HAM, dan maraknya kasus korupsi. Untuk meghadapi problem-problem perundang-undangan dan konstitusi dengan nuansa yang kental pada pembelaan HAM dan antikorupsi, diperlukan hakim dengan keberpihakan yang jelas pada isu-isu tersebut.
“Secara universal, pembelaan pada HAM dan antikorupsi menjadi faktor penting bagi berdirinya negara hukum di mana pun. Tidak ada negara hukum yang tidak memerhatikan dua isu tersebut. Oleh karenanya, sebagai penjaga konstitusi, maka hakim MK tentu harus memiliki perspektif yang kuat dan pembelaan yang jelas terhadap dua isu tersebut,” kata Bivitri.
Di masa depan, hakim MK didorong agar memperkuat judicial activism, yakni tidak semata-mata menimbang hal-hal yang sifatnya teknis, tetapi juga memerhatikan dengan sungguh-sungguh rasa keadilan, dan kemanfaatan hukum secara menyeluruh.
Transparansi dipertanyakan
Terkait dengan seleksi hakim MK dari unsur presiden dan MK, Bivitri juga mengingatkan perlunya transparansi dan keterbukaan dijunjung tinggi. Sebab hal itu diatur di dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
“Harus jelas kandidatnya siapa saja, dari mana, dan kriterianya bagaimana untuk bsia dipilih sebagai hakim konstitusi. Khusus untuk hakim MK dari unsur MA, tidak masalah bilamana harus hakim yang diajukan, sepanjang hakim tersebut memenuhi kriteria yang disyaratkan UU,” kata Bivitri.
Di sisi lain, kritik muncul karena belum diumumkannya nama-nama pendaftar dalam seleksi calon hakim MK dari unsur presiden. Padahal, Senin kemarin telah digelar ujian tertulis bagi para peserta calon hakim MK. Total ada 17 pendaftar yang semuanya mengikuti ujian tertulis. Pendaftar yang lolos akan diumumkan pada 5 Desember 2019.
“Waktu seleksi kali ini pendek, sehingga tentunya publik sudah harus tahu siapa-siapa saja yang mendaftar, sehingga ada kesempatan bagi publik mencermati dan memberikan masukan. Kalau pendaftar seleksi tidak diumumkan, lalu bagaimana caranya bagi publik memberikan masukan,” kata Oce Madril, pengajar HTN Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sebelumnya, tim pansel hakim MK dari unsur presiden yang dipimpin oleh mantan hakim MK Harjono menjelaskan, nama-nama peserta seleksi itu ada di tangan Sekretariat Negara, dan pansel tidak memiliki daftarnya. Dalam menilai hasil ujian tertulis peserta, pansel tidak diberitahukan nama pesertanya untuk menghindari bias-bias subyektivitas.
“Yang pasti peserta cukup variatif, ada dari akademisi, advokat, pejabat, dan mantan pejabat. Kami optimistis dari 17 orang ini akan bisa terpilih tiga terbaik untuk diusulkan kepada presiden,” katanya.
Sesuai jadwal, pansel menargetkan hasil akhir bisa diserahkan kepada presiden, 18 Desember 2019. Adapun tes wawancara dan tes kesehatan akan dilakukan dalam dua hari, yakni 11-12 Desember 2019.