Menjelang Pilkada 2020, KPK Belum Ada Tangkap Tangan Kepala Daerah
Pemberantasan korupsi Indonesia telah menyimpang dari tujuan yang sesungguhnya. Sebab, pendekatan yang dibangun meletakkan perubahan hanya di sektor birokrasi, padahal masalah korupsi ada di sistem politik.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga Jumat (6/12/2019), Komisi Pemberantasan Korupsi belum lagi melakukan operasi tangkap tangan, termasuk untuk para calon kepala daerah yang akan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020. Berbeda saat menjelang Pemilihan Kepala Daerah 2018, KPK menangkap tangan sedikitnya lima calon kepala daerah.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, di Jakarta, Jumat (6/12/2019), menyampaikan, keadaan pemberantasan korupsi saat ini berbeda 180 derajat dengan keadaan sebelum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 direvisi. Kini, dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, pemberantasan korupsi menjadi terhambat.
Padahal, kata Donal, saat ini mendekati bulan-bulan pendaftaran calon kepala daerah untuk pilkada serentak 2020 di 270 daerah. Berbeda dengan kondisi menjelang Pilkada 2018, para calon kepala daerah ditangkap tangan oleh KPK.
Donal menyampaikan paparan ini dalam diskusi publik ”Nasib Pemberantasan Korupsi Pasca-Revisi UU KPK” di Universitas Indonesia, Jakarta. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dan dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi.
Berdasarkan data Kompas, menjelang pilkada Serentak pada Juni 2018, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan menahan sejumlah kepala daerah, baik petahana maupun bukan. Setidaknya ada 5 calon kepala daerah yang tertangkap.
Para calon kepala daerah tersebut, di antaranya Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko (Jawa Timur), Bupati Subang Imas Aryumningsih (Jawa Barat), Bupati Ngada Marianus Sae (Nusa Tenggara Timur), Bupati Lampung Tengah Mustafa (Lampung), dan eks Wali Kota Kendari yang juga calon gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun (Kompas, 14/3/2018).
”Kalau kita jujur melihat, KPK sedang berada dalam posisi psikologis terendah karena saat UU KPK baru efektif berlaku dari 17 Oktober 2019 sampai sekarang, tidak ada satu pun operasi tangkap tangan yang terjadi dan dilakukan oleh KPK,” ujar Donal.
Melihat keadaan ini, Donal menilai, pemberantasan korupsi Indonesia telah menyimpang dari tujuan yang sesungguhnya. Sebab, pendekatan yang dibangun meletakkan perubahan hanya di sektor birokrasi, padahal masalah korupsi ada di sistem politik.
Kejahatan terorganisasi
Syarif pun tidak menampik kehadiran UU KPK yang baru menghambat kinerja pemberantasan korupsi. Ia menilai, tidak ada keinginan dari para politisi untuk memberantas korupsi.
”Kalau ada yang bilang menolak penindakan tanpa adanya peringatan, itu pernyataan yang konyol. Korupsi itu kejahatan terorganisasi melibatkan para gatekeeper (misalnya notaris) agar (kasusnya) sulit diendus penegak hukum,” katanya.
Dengan begitu, upaya pemberantasan korupsi ke depan, kata Syarif, susah untuk optimis. ”Saya sudah tahu ini tidak akan efektif dengan UU (KPK) yang ada sekarang. Doa yang benar, para pemimpin disadarkan untuk mengembalikan UU-nya,” ujarnya.
Akhiar berpendapat, dalam UU KPK yang baru pun tidak menunjukkan adanya penguatan terhadap kinerja baik pencegahan maupun pemberantasan korupsi. Salah satunya, terlihat dari dihapuskannya Pasal 19 Ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatakan, KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Dengan begitu, dalam UU Nomor 19 Tahun 2019, hanya terdapat Pasal 19 Ayat (1), yaitu KPK berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
”Padahal, korupsi masih marak terjadi di daerah. Banyak penegak hukum yang belum banyak menangkap kepala daerah,” kata Akhiar.