Proses demokratisasi di Indonesia dinilai sudah berada pada jalur yang benar dengan menyelenggarakan pemilihan secara langsung. Kini saatnya partai politik diperkuat melalui pendanaan yang transparan.
Oleh
Ingki Rinaldi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gagasan memperkuat partai politik lewat pengucuran dana publik mengemuka dalam kaitan untuk mengatasi sejumlah persoalan dalam proses demokratisasi di Indonesia. Pada sisi lain, proses demokratisasi di Indonesia dinilai sudah berada pada jalur yang benar dengan menyelenggarakan pemilihan secara langsung.
Sebagian hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Review Politik Akhir Tahun: Ancaman Pilkada Tidak Langsung, Amendemen Konstitusi, dan Kembalinya Oligarki”. Diskusi itu diadakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Minggu (8/12/2019), di Jakarta.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte mengatakan, dengan subsidi yang lebih besar kepada partai politik, diasumsikan bisa mengurangi bohir politik. Selain itu, jika pengucuran dana publik itu dilakukan, proses transparansi akan terjadi menyusul statusnya sebagai subyek audit negara.
Selain itu, kata Philips, hal tersebut dapat pula mengurangi ketergantungan oligarki partai kepada dana donor. Hal ini akan membuat kejelasan partai-partai yang berada di pemerintahan dan oposisi. Ia menambahkan, persoalan pendanaan tersebut yang selama ini membuat pihak yang kalah cenderung turut masuk pula secara beramai-ramai ke dalam pemerintahan. Persoalan utamanya karena tidak ada sumber pendanaan.
Namun, menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Dwi Ria Latifa, yang hadir sebagai pembicara, gagasan tersebut akan cenderung menempatkan parpol sebagai sasaran kritik masyarakat. Ide untuk memberikan subsidi bagi parpol, imbuh Ria, akan membuat parpol dicerca.
Amendemen UUD 1945
Peneliti CSIS, Edbert Gani, menyoroti rencana amendemen terbatas UUD 1945 untuk mengembalikan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Menurut dia, hal itu merusak sistem presidensiil. Selain itu, urgensi GBHN juga lemah menyusul keberadaan RPJMN dan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional).
Ia juga menuturkan, upaya mengembalikan pemilihan presiden dan pilkada menjadi pemilihan tidak langsung akan menimbulkan disrupsi ketatanegaraan. Gagasan tersebut juga dinilai tidak konsisten dengan sistem presidensiil.
Menanggapi hal itu, politisi Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, mengatakan bahwa Partai Golkar meyakini apa yang dilakukan sampai hari ini menggambarkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah berada di jalur yang benar. Ekses pilkada langsung dengan biaya politik mahal dan keterbelahan masyarakat, imbuh Ace, bukan berarti harus diatasi dengan mengorbankan prinsip kedaulatan rakyat.
Ace menambahkan, sejak awal Partai Golkar tidak memasukkan agenda tentang amendemen UUD 1945. Kalaupun harus ada haluan negara, imbuh Ace, tidak dilakukan lewat amandemen UUD 1945, tetapi cukup lewat undang-undang.
”Dan kita (sudah) ada RPJMN. Karena semangat kita memperkuat (sistem) presidensial,” kata Ace.