Tak Menerapkan UNCAC, Investor Berintegritas Bisa Tinggalkan Indonesia
Data World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report menunjukkan, korupsi masih menjadi hambatan utama dalam berbisnis di Indonesia. Skornya pun meningkat dari 11,7 (2015), 11,8 (2016), dan 13,8 (2017).
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski telah meratifikasi dan berkomitmen mengimplementasikan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) sejak 2003, Indonesia tak kunjung melaksanakannya. Keadaan pun diperparah dengan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bukan tidak mungkin, ke depan investor berintegritas tidak lagi melirik Indonesia dan berinvestasi ke negara lain.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode M Syarif menilai, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membuat Indonesia semakin jauh dari komitmen UNCAC. Seharusnya, Indonesia merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), bukan UU KPK.
Sebab, ada empat kejahatan korupsi yang belum masuk dalam UU Tipikor. Kejahatan itu adalah korupsi sektor swasta (private bribery), kejahatan lintas negara (foreign bribery), kekayaan tidak wajar (illicit enrichment), dan perdagangan pengaruh (trading of influence).
”Seharusnya, kalau Indonesia punya komitmen pemberantasan korupsi yang dibenahi itu adalah UU Tipikor dahulu, bukan UU KPK. Kalau begini, yang gatal kiri yang digaruk kanan,” ujar Syarif di Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Keputusan oleh parlemen dan pemerintah, kata Syarif, meski tetap harus dihormati namun telah bertentangan dengan Konvensi PBB tersebut. Memang tidak ada sanksi internasional, tetapi Indonesia akan dianggap sebagai negara yang tidak patuh.
Syarif menyampaikan paparan ini dalam diskusi Implementasi Komitmen Global Indonesia di Level Nasional bersama akademisi dan masyarakat sipil di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta Selatan. Diskusi ini menjadi rangkaian dari kegiatan Hari Antikorupsi Sedunia (Harkodia) bertemakan ”Bersama Melawan Korupsi Mewujudkan Indonesia Maju”.
Narasumber lain yang hadir, yakni Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK Sujanarko; pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti; dan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Tri Sasongko.
Menurut Sujanarko, KPK sebagai lembaga sesuai dengan Pasal 6 UNCAC, maka kriminalisasi korupsi di sektor swasta perlu menjadi perhatian. Indonesia perlu memperbaiki aturan terkait perampasan aset kasus korupsi.
Melalui penerapan UNCAC yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC, maka citra Indonesia akan meningkat dalam percaturan politik internasional. Kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri pun menjadi meningkat.
Meski memang tidak ada sanksi internasional, Bivitri menyampaikan, sanksi berupa tekanan dapat diberikan oleh negara-negara lain yang telah menerapkan UNCAC. Terlebih dari negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yang Indonesia menjadi salah satu anggotanya.
”Tekanan ekonomi itu sifatnya lebih konkret. Bisa saja negara-negara OECD tidak mau lagi masuk ke Indonesia. Kalau begitu, bahayanya buat kita, investor yang kecenderungannya menyuap yang akan masuk sehingga menghancurkan fondasi ekonomi,” tutur Bivitri.
Saat ini, kata Bivitri, memang belum akan terasa perubahannya. Namun, setidaknya tahun depan pada titik tertentu, ekonomi Indonesia akan jatuh. Sebab, orang-orang yang berintegritas akan takut untuk berbisnis di Indonesia.
Hambatan utama
Berdasarkan data World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report, korupsi masih menjadi hambatan utama dalam berbisnis di Indonesia. Skornya pun terus meningkat dari 11,7 (2015), 11,8 (2016), hingga 13,8 (2017).
Selain itu, data Transparency International Indonesia tentang penilaian terhadap perusahaan terbesar Indonesia menunjukkan, skor standar transparansi pelaporan perusahaan terbesar Indonesia hanya 3,5 dari 10 poin. Artinya, sebagian perusahaan kurang transparan dan berpotensi gagal membuktikan keberadaan pencegahan korupsi, struktur perusahaan transparan, dan laporan keuangan antarnegara secara transparan.
Perusahaan yang dinilai adalah perusahaan Fortune Top 100 2014 dengan kategori perusahaan terbesar di Indonesia dari segi pendapatan. Perusahaan berasal dari 9 sektor lapangan usaha, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau pun perusahaan terbuka, dan beroperasi di 38 negara.
Dadang Tri Sasongko menyampaikan, banyak yang beranggapan bahwa suap menjadi bagian untuk melancarkan bisnis. Namun, perlu disadari bahwa yang melakukan adalah negara-negara yang korupsi.
Untuk membenahi sektor swasta, kata Dadang, dapat dimulai dari pembenahan BUMN. Sebab, perusahaan-perusahaan pada umumnya akan mengikuti tender yang diadakan BUMN.
”Selama ini parameter untuk ikut tender BUMN dilihat dari transparansi laporan keuangan, nanti harus juga dimasukkan soal integritas mengenai rekam jejak dari perusahaan. BUMN dapat menjadi kepanjangan tangan negara untuk mengatur swasta,” ujar Dadang.
Bivitri pun kembali menegaskan, penguatan KPK melalui pengembalian UU KPK ke UU Nomor 30/2002 harus tetap dilakukan. ”Ini adalah kondisi ideal untuk mengembalikan kepercayaan internasional termasuk pebisnis kepada Indonesia,” ujar Bivitri.