Pemerintah segera mengajukan RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional 2020 itu diharapkan bisa menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Oleh
Nina Susilo dan Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah segera mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional 2020 itu diharapkan bisa menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyebut naskah akademik dan draf RUU KKR sudah siap. ”Sudah lama (siap), sudah sepuluh tahun, sudah ada kok. Tinggal dibuka lagi. Cuma mengendap di kotak saja,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Pekan lalu, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyebutkan, pemerintah sudah selesai menyusun naskah akademik dan draf RUU KKR yang sebelumnya dikerjakan Harkristuti Harkrisnowo.
Sejauh ini, pemerintah sudah memetakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Ada kasus-kasus yang sudah diadili, ada pula yang sudah terjadi belasan atau puluhan tahun lalu sehingga obyek dan subyeknya sulit ditemukan kembali. Ketika pelaku, korban, ataupun saksi sudah tidak ada, menurut Mahfud, tetap perlu dicari kebenarannya dan kemudian rekonsiliasi.
”Sudah belasan tahun reformasi, kita ingin menyelesaikan masalah HAM masa lalu,” kata Mahfud.
Di Kejaksaan Agung terdapat dua belas kasus pelanggaran HAM berat. Delapan kasus di antaranya terjadi sebelum ada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedelapan kasus itu adalah peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius, peristiwa Trisaksi, peristiwa Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa Simpang KKA, peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun santet ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.
Fadjroel berharap pembentukan kembali KKR akan mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
”KKR itu ada prinsip rehabilitasi, reparasi, dan yang terpenting sebenarnya adalah mengembalikan persaudaraan sejati dari seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, ketika kita membangun, tidak ada lagi persoalan mengganjal. Dalam pilpres yang akan datang juga tidak ada lagi (yang mengganjal),” tuturnya.
KKR juga bisa memberikan rekomendasi untuk membuat pengadilan HAM. Namun, tujuan paling utama pembentukan lembaga ini adalah untuk mengungkap kebenaran dari kasus-kasus HAM masa lalu.
”Jadi, kalau kita mengungkapkan kebenaran, hati kita lega. Semuanya dinyatakan, lalu kemudian KKR bekerja, setelah itu baru diberikan rekomendasi sehingga semuanya bisa berjalan, rekonsiliasi terhadap seluruh rakyat,” tuturnya kepada wartawan.
KKR pernah dibentuk pada 2004. Namun, KKR bubar setelah MK membatalkan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR pada 2006. MK membatalkan UU KKR karena salah satu pasal menyebutkan, jika telah meminta maaf, pelaku berhak mendapatkan pengampunan atau amnesti.
Fadjroel memastikan dalam draf RUU KKR yang baru, ketentuan tersebut akan disesuaikan dengan putusan MK. Rehabilitasi tidak akan dikaitkan dengan amnesti. Namun, hal itu akan diputuskan lewat mekanisme pengadilan HAM berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan KKR.
Azas keadilan
Bhatara Ibu Reza, anggota Komisi Kejaksaan, mengatakan, ide KKR tidak boleh sampai menghilangkan asas keadilan lewat pengadilan HAM. Menurut Bhatara, jangan sampai ada rantai yang terputus antara KKR dan proses keadilan.
”Maaf dan rekonsilasi ada di sisi kemanusiaan, tapi kasus hukumnya harus tetap jalan. Misalnya ada pembunuhan, terus keluarga korban sudah memaafkan, kan proses hukumnya tetap jalan,” kata Bhatara.
Ia menganalisis, sepanjang ini wacana KKR mengarah pada semangat amnesti. Komisi serupa di Afrika Selatan kerap menjadi contoh dengan melupakan fakta bahwa di Afsel pun pelanggaran HAM berat tetap diproses pengadilan.
KKR sebenarnya tidak pas untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat seperti kejahatan terhadap kemanusiaan dan perang. ”Afsel itu contoh kasus yang buruk, tapi itu pun ada pengadilannya,” kata Bhatara.
Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani. Sebaiknya yang dilakukan pemerintah saat ini adalah mencari fakta. Pembentukan KKR seharusnya mengedepankan konsep kebenaran, bukan rekonsiliasi. Pasalnya, pembentukan KKR sebelumnya pernah gagal lantaran kehilangan esensi kebenaran dan keadilan.
”Intinya adalah mencari fakta dulu, siapa yang bersalah, bersalahnya seperti apa. Baru dari situ ada langkah selanjutnya,” katanya.
Bhatara menyambut keberadaan KKR karena di sisi lain bisa membuka ruang penyelidikan untuk kejaksaan. Menuru dia, fakta-fakta yang terungkap dalam KKR bisa digunakan untuk proses hukum dalam pengadilan HAM.
Bhatara mengatakan, konteks politik hari ini, yakni ada beberapa terduga pelanggar HAM berat di masa lalu yang duduk di pemerintahan. Oleh karena itu, jangan sampai KKR diadakan hanya untuk memperbaiki pelanggaran HAM yang pernah terjadi.
”Yang penting bagaimana keadilan untuk korban. Jangan sampai seperti UU KKR yang sebelumnya mengatakan kompensasi terhadap keluarga korban akan diberikan kalau ada amnesti. Jadi, KKR harus dilepaskan dari kepentingan politik sesaat,” katanya.