Pansel Cari Sosok Negarawan untuk Gantikan Palguna
Panitia seleksi calon hakim konstitusi, Rabu (11/12/2019), fokus mencari sosok negarawan dalam tes wawancara di Kementerian Sekretariat Negara. Pertanyaan untuk menguji integritas, kapasitas, dan visi digali penguji.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Panitia seleksi calon hakim konstitusi, Rabu (11/12/2019), fokus mencari sosok negarawan dalam tes wawancara di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta. Sejumlah pertanyaan untuk menguji integritas, kapasitas, dan visi sebagai calon hakim konstitusi digali oleh panitia seleksi.
Lima calon hakim konstitusi menjalani seleksi wawancara kemarin. Mereka adalah Benediktus Hestu Cipto Handoyo, Bernard L Tanya, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Ida Budhiati, dan Suparman Marzuki.
Selanjutnya, Kamis ini, tiga calon yang terdiri dari Widodo Ekatjahjana, Umbu Rauta, dan Yudi Kristiana dijadwalkan untuk mengikuti tes wawancara. Mereka diuji oleh panitia seleksi yang diketuai Harjono, mantan Wakil Ketua MK, dengan anggota Maruarar Siahaan (mantan hakim MK), Alexander Lay, Adji Samekto, Sukma Violetta, dan Edward Omar Sharif Hiariej.
Terkait integritas calon, misalnya, Sukma menanyakan kepada Bernard tentang informasi dugaan praktik politik uang yang dilakukan saat menjadi calon bupati Sabu Raijua di Nusa Tenggara Timur pada 2010. Sukma menanyakan apakah benar bahwa Bernard pernah membagi-bagikan uang sejumlah Rp 50.000 untuk setiap calon pemilih.
Hal itu langsung ditampik Bernard dengan mengatakan bahwa informasi tersebut sama sekali tidak benar. Ia juga menyatakan bahwa ketika itu dirinya dan timnya tidak pernah ditegur, diperiksa, apalagi ditangkap oleh panitia pengawas pilkada.
Sementara itu, Harjono menyoroti apakah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) bisa diuji oleh MK. Selain itu, ia juga menanyakan pendapat Bernard tentang ultra petita yang dilakukan MK atau tatkala hakim memutuskan lebih dari yang diminta.
”Ultra petita tidak haram diterapkan,” kata Bernard.
Terkait dengan Perpu, Bernard menyebut bahwa MK berwenang menguji perpu. Hal ini menyusul keberadaan perpu yang merupakan pengganti undang-undang (UU) dan dengan demikian setara posisinya dengan UU.
Dalam tes wawancara yang berlangsung terbuka untuk publik itu, Harjono juga memberikan kesempatan kepada hadirin untuk bertanya di sela-sela sesi yang dilakukan. Namun, hingga kesempatan itu diakhiri, tidak ada pertanyaan yang diajukan hadirin dalam tes yang juga relatif tidak banyak dihadiri publik itu.
Kegentingan memaksa
Pada sesi selanjutnya, Alexander menyigi tentang syarat kegentingan memaksa dalam penerbitan perppu. Ia bertanya kepada Daniel mengenai apakah diperlukan perubahan definisi kegentingan memaksa, ataukah memang sudah tepat dengan keadaan saat ini guna menyelesaikan kebutuhan yang ada.
Menjawab hal itu, Daniel menyoroti putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang pengujian Perppu Nomor 4/2009 tentang perubahan atas UU Nomor 30/2002 tentang KPK. Ia mengatakan bahwa putusan itu meligitimasi tindakan presiden dalam menggunakan kewenangan menggunakan perppu dan menempatkan unsur obyektivitas di DPR.
Daniel mengatakan, obyektivitas terkait mestinya ada di kekuasaan kehakiman dan bukannya di DPR. Hal ini terkait dengan keberadaan DPR sebagai lembaga politik.
Lebih jauh, saat menjawab pertanyaan Edward, Daniel mengatakan bahka MK mestinya diberikan kewenangan untuk menguji keadaan darurat atau kegentingan memaksa. Ia mengatakan, pengujian atas keadaan darurat yang diproklamasikan presiden tersebut merupakan mekanisme kontrol atas prinsip check and balance.
”Hukum tata negara (terkait perppu, selama ini) subyektif kepada presiden. Ini ke depan mesti dipikirkan,” sebut Daniel.
Tes wawancara itu merupakan bagian lanjutan dari seleksi sebelumnya berupa tes administrasi dan tes tertulis. Selanjutnya, panitia seleksi akan memilih tiga calon hakim konstitusi pengganti I Dewa Palguna yang pada 7 Januari 2020 akan berakhir masa baktinya.
Tiga kandidat terbaik itu akan diusulkan kepada Presiden Joko Widodo pada akhir Desember. Selanjutnya, Presiden akan memilih satu hakim konstitusi untuk menggantikan Palguna.