Syarat Publikasi Latar Belakang Bekas Terpidana Korupsi Perlu Diperketat
Tidak cukup syarat bekas terpidana harus memublikasikan statusnya sebagai bekas terpidana di media massa. Pengaturan publikasi harus lebih detail. Salah satunya, biodata dan status ditempel di tempat pemungutan suara.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum diminta memperketat pengaturan pencalonan bekas terpidana korupsi dalam pemilihan kepala daerah pasca-putusan Mahkamah Konstitusi yang tetap membuka pintu bagi bekas terpidana maju dalam pemilihan. Syarat bekas koruptor untuk mengumumkan statusnya kepada publik harus diterjemahkan lebih ketat dan luas.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XVII/2019 pada Kamis (11/12/2019), mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menguji konstitusionalitas Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam amar putusannya, MK di antaranya menyatakan bekas terpidana, termasuk bekas terpidana korupsi, harus terlebih dulu melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani pidana. Kemudian bekas terpidana harus secara jujur atau terbuka mengumumkan latar belakang atau jati dirinya sebagai mantan terpidana. Terakhir, bekas terpidana bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dihubungi dari Jakarta, Kamis (12/12/2019), mengapresiasi putusan tersebut. Putusan memberikan syarat yang cukup ketat sehingga bekas terpidana korupsi tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon kepala/wakil kepala daerah begitu saja. Namun, itu saja tidak cukup.
Menurut Titi, langkah selanjutnya ada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mendetailkan sejumlah syarat tersebut. Ini karena sekalipun putusan MK memperketat bekas terpidana yang ingin maju di pilkada, bekas terpidana tetap masih terbuka untuk bisa maju dan terpilih.
”Salah satunya, KPU harus membuat pengaturan komprehensif tentang syarat mengumumkan latar belakang atau jati diri eks narapidana korupsi secara jujur dan terbuka,” kata Titi.
Menurut dia, aturan itu rentan dimanfaatkan oleh bekas terpidana untuk membuat pengumuman hanya sekadar formalitas. Misalnya, dengan memublikasikan jati diri mereka pada media massa yang jarang diakses publik. Ini seperti yang terjadi selama ini.
Akibatnya, sulit bagi publik untuk mengetahui latar belakang calon yang berstatus bekas terpidana. Padahal, informasi lengkap mengenai latar belakang bekas terpidana itu penting sebagai pertimbangan bagi masyarakat untuk menentukan pilihannya. Untuk itu, Titi mengusulkan agar KPU menetapkan standar dan nama media massa tempat pengumuman secara spesifik.
”Pengumuman soal latar belakang calon kepala/wakil kepala daerah ini juga harus ada di seluruh tahapan pilkada, mulai dari kampanye hingga hari pemungutan suara,” ujar Titi.
Selain itu, dia menyarankan, latar belakang bekas terpidana dicantumkan dalam seluruh dokumen kampanye dan informasi di tempat pemungutan suara (TPS). Adapun informasi yang perlu ada meliputi kasus, durasi pemenjaraan, dan kapan pembebasan murni.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mendesak hal serupa. Menurut dia, informasi lengkap terkait kasus dan hukuman yang menjerat bekas terpidana korupsi mesti ada pada biodata mereka di TPS.
Feri mengatakan, hal itu perlu diatur secara khusus oleh KPU. Untuk itu, dibutuhkan komitmen KPU untuk tetap berani membuat aturan terkait sedemikian rupa.
Sementara itu, komisioner KPU, Evi Novida Ginting, tidak menjelaskan secara detail saat ditanya bagaimana mekanisme pengumuman latar belakang calon kepala/wakil kepala daerah bekas napi korupsi.
Ia hanya mengatakan, pengumuman latar belakang calon kepala/wakil kepala daerah selain mantan terpidana telah diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pencalonan dalam Pilkada. Latar belakang mereka dipublikasikan di laman dan akun media sosial resmi KPU provinsi, kabupaten/kota.
Evi menambahkan, dengan adanya putusan MK, PKPU tentang Pencalonan Pilkada 2020 juga akan diubah. Pengubahan dipastikan tidak akan mengganggu tahapan yang sudah berjalan. Adapun tahapan pencalonan perseorangan dimulai pada Desember 2019.
”Revisi PKPU (juga) tidak memerlukan waktu yang lama karena yang akan diubah adalah pasal-pasal tertentu yang berkaitan dengan putusan MK,” kata Evi.