Pemerintah Daerah dan Tantangan Revolusi Industri 4.0
Upaya untuk mentransformasi Indonesia ke dalam perekonomian Industri 4.0 juga bertumpu pada potensi pemerintah daerah. Namun, kesiapan pemerintah daerah masih menjadi tantangan.
Sepuluh prioritas nasional dalam inisiatif “Making Indonesia 4.0” yang disiapkan Kementerian Perindustrian RI telah ditetapkan untuk mentransformasi Indonesia ke dalam perekonomian Industri 4.0. Sebagian di antara prioritas tersebut bertumpu pada potensi pemerintah daerah.
Misalnya saja prioritas perbaikan alur aliran barang dan material, desain ulang zona industri, memberdayakan UMKM, serta harmonisasi aturan dan kebijakan. Pada sisi lain, kesiapan pemerintah daerah dalam konteks kapasitas sumber daya manusia di tingkatan aparatur dan masyarakat cenderung masing menjadi tantangan besar.
Klaus Schwab (2016) dalam buku berjudul “The Fourth Industrial Revolution” meyakini bahwa saat ini kita tengah berada di permulaan revolusi industri keempat. Kecerdasan buatan, pembelajaran mesin, jaringan internet seluler, sensor-sensor yang makin kecil serta murah adalah sejumlah penandanya.
Revolusi Industri 4.0 merupakan lanjutan dari revolusi industi pertama yang menurut Schwab dipicu penemuan mesin uap dan konstruksi rel kereta api (1760-1840). Revolusi industri kedua berlangsung sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tatkala produksi massal dimungkinkan.
Sementara revolusi industri ketiga dimulai pada tahun 1960an. Schwab menulis bahwa fase ini biasanya disebut juga revolusi digital menyusul adanya pengembangan semikonduktor, komputer mainframe, komputer personal, dan internet.
Indonesia, sebagaimana dikutip dari firma konsultan manajemen global A.T. Kearney, dianggap sebagai salah satu pendatang berpotensi tinggi berdasarkan evaluasi awal kesiapan negara dalam era Revolusi Industri 4.0. Kutipan itu berasal dari sajian berjudul “Bringing the Fourth Industrial Revolution to Indonesia” yang disampaikan dalam Seminar Nasional Outlook Industri 2018, 11 Desember 2017.
Masih menurut A.T. Kearney, implementasi Revolusi Industri 4.0 dapat membantu mengakselerasi Indonesia menjadi sepuluh besar kekuatan ekonomi global pada 2030. Aspirasi-aspirasi progresif, upaya kolaboratif secara nasional, dan pemerintahan yang bersih disebut sebagai faktor-faktor kunci.
Selain lompatan teknologi dan ekonomi menuju peradaban baru, hal lain yang kerap dibicarakan berkaitan dengan Revolusi Industri 4.0 adalah tentang nasib pekerjaan. Sekitar 16 persen aktivitas kerja di Indonesia dapat diotomatisasi pada 2030. Jumlahnya setara dengan 23 juta pekerja.
Data tersebut sebagaimana dikutip dari laporan berjudul “Automation and the future of work in Indonesia: Jobs lost, jobs gained, jobs changed,” yang dipublikasikan McKinsey&Company pada September 2019. Sekalipun, berdasarkan laporan yang sama, lebih dari 27 juta pekerjaan baru akan muncul pada 2030 jika tren investasi dan tingkat pengeluaran berlanjut.
Otomasi yang berarti digantikannya peran manusia oleh teknologi dalam mengerjakan sebuah pekerjaan cenderung lebih memengaruhi industri tertentu dibandingkan lainnya. Salah satu sektor yang terpengaruh hal tersebut ialah industri tekstil, pakaian, kulit, dan alas kaki.
Dalam laporan International Labour Organization (ILO) berjudul “The Future of Work in Textiles, Clothing, Leather and Footwear” yang dipublikasikan pada 2019 menyebutkan para pekerja tekstil, pakaian, dan alas kaki di ASEAN berisiko tinggi terpapar otomasi. Persentasenya sebesar 64 persen di Indonesia, 86 persen di Vietnam, dan 88 persen di Kamboja.
Laporan yang sama menyebut bahwa investasi pada teknologi otomasi dan robot penjahit akan sangat menarik untuk dilakukan di tengah kenaikan biaya tenaga kerja. Terutama pada negara dengan perekonomian berkembang yang berada di ambang restrukturisasi industri.
Sekalipun memang, ada sisi positif dari era otomasi. Paul R. Daugherty & H. James Wilson (2018) dalam buku “Human + Machine: Reimagining Work in the Age of AI” menulis tentang konsep “fusi keterampilan.” Keadaan ini berlaku tatkala manusia dan mesin bersama-sama membentuk jenis-jenis pekerjaan dan pengalaman kerja yang baru.
Konsep tersebut membentuk “bagian tengah yang hilang” dalam pekerjaan dan cenderung absen pada perdebatan mengenai otomasi pekerjaan. Daugherty & Wilson menyebut saat ini 61 persen aktivitas di “bagian tengah yang hilang” itu menuntut pekerja untuk melakukan hal-hal berbeda dan melakukan hal-hal secara berbeda.
Kondisi Indonesia
Bagi Indonesia, hal ini berarti pula mesti mempertimbangkan kondisi di 34 provinsi yang terdiri atas 542 daerah kabupaten/kota. Selain otomasi yang mengancam sejumlah pekerjaan, kemunculan pekerja prekariat dan “gig economy” juga cenderung menjadi keniscayaan.
Model “gig economy” yang melibatkan pekerja temporer cenderung tengah menjadi kelaziman baru. Jeremias Prassl (2018) dalam buku Humans As A Service: The Promise and Perils of Working the Gig Economy menyebut berbagai platform terkait berbagai bidang industri mulai dari transportasi hingga perawatan rumah tangga terkait dengan praktik "gig economy." Termasuk di dalamnya adalah aktivitas platform teknologi yang melayani jasa transportasi serta berbagai turunannya, termasuk layanan teknologi finansial, dan cenderung menjadi andalan baru perekonomian.
Sementara pekerja prekariat cenderung identik dengan ketiadaan jaminan. Guy Standing (2011) dalam buku “The Precariat: The New Dangerous Class,” menulis bahwa kelompok ini terdiri atas orang-orang yang kekurangan tujuh bentuk keamanan terkait ketenagakerjaan. Masing-masing adalah keamanan pasar tenaga kerja, keamanan ketenagakerjaan, keamanan pekerjaan, keamanan kerja, keamanan meningkatkan kemampuan, keamanan penghasilan. Selain itu, keamanan keterwakilan dalam menyuarakan kepentingan di pasar kerja, termasuk keberadaan serikat pekerja independen.
Praktik “gig economy” telah mulai pula terjadi di sebagian daerah. Ekspansi sebagian perusahaan teknologi yang menjadi platform layanan transportasi dan produk turunannya dilakukan di sejumlah wilayah.
Sementara keberadaan pekerja prekariat cenderung menambah eksistensi pekerja serabutan yang selama ini sudah ada di sebagian daerah. Standing mengklasifikasikan pekerja prekariat berada di bawah kelas elit yang menguasai modal, kelas salariat yang merupakan pekerja tetap dan termasuk pula PNS, kelas proficians atau kaum profesional dan teknisi, serta kelas pekerja atau buruh industri.
Pemerintah daerah juga dituntut untuk menghadapi keniscayaan-keniscayaan tersebut. Sekalipun dalam praktiknya, birokrasi dan regulasi yang ada cenderung belum mampu secara cepat menyesuaikan dengan fakta peradaban.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik mengatakan Indonesia masih terkendala kultur sistem pemerintahan yang belum berkembang sesuai kebutuhan global yang meniscayakan implementasi teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup. Baru ada sebagian kecil yang mengarah pada kebutuhan tersebut.
Narasi memanfaatkan teknologi guna menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat maupun dalam aspek birokrasi belum muncul dengan baik. Justru narasi politik untuk menyelesaikan persoalan cenderung masih menjadi eforia di sejumlah daerah Ini tercermin dalam sebagian program serta janji kampanye yang dipaparkan sebagian kandidat dalam kontestasi politik guna mendulang suara di daerah.
Pemerintah belum melakukan evaluasi menyeluruh terkait relatif belum berkembangnya kultur birokrasi dan kultur masyarakat terssebut. Hanya ada informasi awal bahwa kebanyakan daerah yang tidak bertumbuh, terutama terkait dengan aspek perekonomian, adalah hasil pemekaran daerah.
Peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Siti Zuhro menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan bahwa daerah yang semakin mekar maka akan semakin tertinggal. Itulah mengapa moratorium pemekaran daerah perlu diperpanjang karena ternyata tidak berkorelasi positif dengan kemajuan.
Lebih banyak masalah yang dituai menyusul pembentukan daerah otonom baru. Sekitar 80 persen bermasalah karena tidak memenuhi sejumlah kriteria, termasuk di dalamnya potensi ekonomi dan pendapatan asli daerah.
Kementerian Dalam Negeri lantas membuat konsep smart city untuk mendorong pemerintah daerah menggunakan pendekatan teknologi informasi dalam mengelola birokrasi pemerintahan. Dalam konteks idealnya, smart city mengintegrasikan sumber-sumber daya di daerah dengan proses yang melibatkan teknologi guna mengakselerasi taraf perekonomian dan meningkatkan kualitas hidup. Integrasi ini termasuk pula menautkan kawasan-kawasan industri atau ekonomi khusus dalam bingkai pembangunan di daerah. Namun konsep ini juga cenderung belum berkembang baik.
Sumber daya manusia, termasuk sebagian aparatur dan masyarakat, menjadi kendala utama pengimplementasian konsep tersebut.Smart city cenderung masih dimaknai sebatas jaringan wifi dan kamera CCTV (closed-circuit television).
Guna mengatasinya, standar minimal mengenai enam layanan dasar dalam konsep smart city. dibuat bersama Badan Standardisasi Nasional Masing-masing adalah konsep pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial, permukiman, infrastruktur, serta ketentraman dan ketertiban (trantib).
Namun tantangannya kemudian ada pada kementerian dan lembaga yang menyelenggarakan urusan-urusan tersebut menyusul pemerintah daerah yang hanya sebagai pelaksana. Hubungan yang baik antara pemerintah daerah serta kementerian dan lembaga mesti terjadi dalam bingkai otonomi daerah yang kompetitif.
Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany yang juga Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia mengatakan bahwa dalam konteks pemerintahan di daerah, pengaruh Revolusi Industri 4.0 berada dalam tahap perkembangan. Airin, dalam jawaban tertulisnya mengatakan bahwa Internet of Things (IoT), big data, dan system integration mulai sering digunakan dalam dunia pemerintahan.
Pengaturan lalu lintas misalnya, memanfaatkan IoT. Sementara big data dipakai untuk mendeteksi harapan dan kebutuhan masyarakat. Adapun system integration dipergunakan dalam sejumlah aplikasi pemerintah daerah.
Pada waktu dekat aspek-aspek dalam Revolusi Industri 4.0 bakal sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Struktur kerja dalam pemerintahan, sebut Airin, harus mampu menyesuaikan diri ketika itu terjadi.
Sementara di dunia industri, hal pertama yang mesti dilakukan ialah menata kembali tenaga kerja yang digantikan teknologi. Kecenderungan ini mulai terjadi di daerah, dimana pemerintah dan seluruh pihak terkait mesti sudah menyiapkan antisipasi.
Fenomena “gig economy” dan pekerja prekariat juga sudah mulai dirasakan di dunia swasta. Peningkatan kualitas SDM di daerah agar angkatan kerja berkesempatan menjadi wirausahawan atau pegawai dengan posisi tidak rentan mesti jadi fokus perhatian
Hal yang terkait ialah dengan menumbuhkan kultur inovasi lewat peningkatan kesadaran dan pemahaman aparatur pemerintah serta masyarakat ihwal inovasi sebagai kunci kemajuan suatu daerah. Selain itu membangkitkan motivasi untuk melakukan inovasi lewat penghargaan. Menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk melakukan inovasi, dan menyediakan sarana yang mendukung budaya inovasi.
Terkait dengan penerapan konsep smart city, hampir seluruh pemerintah daerah tengah berupaya maksimal untuk mengimplemantasikannya. Akan tetapi tantangan di seputar aspek sumber daya manusia, dukungan infrastruktur, dan ketersediaan anggaran masih dihadapi.
Ketua Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas (APIC), Prof. Suhono Harso Supangkat menyebutkan bahwa saat ini memang cenderung terjadi euforia penerapan konsep smart city. Akan tetapi hal itu masih jauh dari kondisi ideal mengingat adanya elemen-elemen manusia, proses, dan teknologi dalam membangun sebuah kota.
Saat ini yang banyak terjadi baru pada tahapan pembuatan aplikasi. Adapun tahapan transformasi manusia dan transformasi proses masih diliputi kesenjangan.
Kebutuhan untuk mengintegrasikan seluruh sumber daya yang ada di daerah ke dalam konsep tersebut sesungguhnya telah diketahui dan diinginkan. Namun proses yang tidak sederhana membuat proses integrasi tersebut baru di tahap awal. Proses permulaan integrasi itupun baru berlangsung di sebagian kecil daerah. Perkiraan awalnya di bawah 10 persen kota yang ada.
Tentu saja, pekerjaan rumah terbesar ialah dengan fokus pada perbaikan sistem alih-alih salah satu atau sebagian komponen saja. Digitalisasi, otomasi, Revolusi Industri 4.0 tidak hanya berhenti pada aspek teknis namun juga isu manajerial, strategis, dan operasional.
Kesadaran memang harus segera dibangun. Terutama yang terkait dengan sebagian pekerjaan yang bakal digantikan teknologi.
Gagasan untuk menghilangkan eselon 3 dan 4 dan digantikan dengan kecerdasan buatan misalnya, harus diikuti dengan tepat. Dimulainya perubahan yang cukup besar ini bisa dilihat bahwa hal-hal yang sifatnya rutin dan bukan berupa pengambilan keputusan besar, bisa dilakukan mesin kecerdasan buatan.
Mitigasi terkait munculnya sejumlah pekerjaan baru menyusul proses tersebut mesti segera dilakukan. Pemerintah daerah yang relatif paling terdampak harus didorong untuk mulai siap.
Pendapatan Dasar
Terkait dengan itu, satu solusi yang bisa mulai dikenalkan terkait hilangnya sebagian peran manusia menyusul otomasi pekerjaan adalah implementasi pendapatan dasar universal (universal basic income/UBI). Ada lima hal utama terkait penerapan konsep UBI, yakni bersifat individual, periodik, berupa pembayaran tunai, universal, dan tanpa syarat
Koordinator Indonesia Basic Income Guarantee Network (IndoBIG) yang juga peneliti Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI Yanu Endar Prasetyo menyebutkan mereka dengan pekerjaan berkategori “rutin, manual, dan fisik,” adalah yang akan pertama kali terdampak gelombang otomasi.
Cara paling tepat mengatasi dampak tersebut ialah menerapkan UBI dengan memberikan transfer tunai. Pasalnya pengalihan ke sektor informal dengan berdagang misalnya, relatif tidak mudah di tengah pertumbuhan ekonomi yang cenderung lambat dan menurunnya daya beli.
Hanya saja, konsep ini masih dihadapkan pada tax ratio yang cenderung masih sangat rendah. Padahal untuk memasikan diberikannya dividen warga negara dalam skema UBI, diperlukan kepatuhan pajak yang tinggi.
Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ibnu Nadzir Daraini menyebutkan bahwa salah satu asumsi yang selama ini tidak tepat adalah janji bahwa perekonomian akan membawa kemakmuran. Perekonomian digital yang menjadi salah satu landasan Revolusi Industri 4.0, sejumlah asumsinya kini tengah digugat.
Misalnya saja platform teknologi penyedia jasa transportasi yang membebankan risiko usaha kepada pengendara namun keuntungan pada korporasi. Regulasi yang tepat untuk mengatur keseimbangan praktik ekonomi tersebut dinilai belum ada.
Hal ini masih ditambah dengan kesenjangan di wilayah Indonesia Timur. Padahal, akses internet sudah mesti dipandang sebagai hak alih-alih keistimewaan.
Pada sisi lain, implementasi teknologi dan digitalisasi di lembaga pemerintahan baru terjadi pada asumsi dasar. Sementara logikanya masih logika birokrasi. Tidak jarang yang terjadi adalah kerumitan. Pasalnya birokrasi yang mesti diubah karena teknologi digital cenderung belum dilakukan.