Aturan Seleksi Penyelenggara Pemilu Daerah Perlu Perbaikan
Pengaruh signifikan dari peraturan yang berubah setiap masa pemilu, salah satunya muncul kerancuan memahami dasar hukum dalam proses seleksi penyelenggara pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Oleh
Ikhsan Mahar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi kepemiluan perlu dikodifikasi untuk mengantisipasi penafsiran keliru dalam tahapan teknis penyelenggaraan pemilihan umum. Pengaruh signifikan dari peraturan yang berubah setiap masa pemilu salah satunya muncul kerancuan memahami dasar hukum dalam proses seleksi penyelenggara pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Kris Nugroho, menuturkan, dalam praktik demokrasi elektoral diperlukan kesinambungan dari masa ke masa. Namun, di Indonesia, setiap pemilu selalu muncul perubahan regulasi.
Dampaknya, para penyelenggara pemilu harus melakukan penyesuaian, termasuk para tim seleksi calon komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi dan kabupaten/kota. Kris mengungkapkan, perubahan, salah satunya pada Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang membuat para anggota tim seleksi perlu melakukan pemahaman ulang terhadap sejumlah poin di dalam dasar hukum hasil revisi itu.
”Perubahan aturan itu seharusnya dibarengi dengan pembuatan kodifikasi sejumlah aturan dasar, seperti mengenai persyaratan pendaftaran komisioner. Alhasil, kodifikasi itu perlu untuk memayungi sebagai buku induk proses seleksi,” ujar Kris dalam Diseminasi Hasil Riset Kepemiluan 2019, di Jakarta, Jumat (20/12/2019).
Agenda itu diselenggarakan KPU bekerja sama dengan Universitas Airlangga, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada. Dalam kesempatan itu, tim riset dari ketiga universitas tersebut mengemukakan temuan mereka terhadap proses seleksi komisioner KPU provinsi dan kabupaten/kota selama 2018-2019.
Seiring perbedaan penafsiran para tim seleksi membuat proses pemilihan anggota KPU daerah menemui sejumlah kendala, terutama mengenai kekeliruan administratif, etik dan pidana, serta etik dan administratif. Kris mencontohkan, proses pemilihan komisioner KPU di Gorontalo dan Jawa Barat sempat bermasalah karena beda tafsir dari tim seleksi dalam memahami klausul terkait regulasi pencalonan bagi pegawai negeri sipil. Kasus itu pun bermuara ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Atas dasar itu, menurut Kris, sebagai langkah antisipasi atas peristiwa multitafsir regulasi itu, KPU perlu memberikan kewenangan supervisi bagi KPU provinsi untuk melakukan kewenangan supervisi bagi pelaksanaan tugas tim seleksi. ”Kewenangan supervisi itu bukan untuk mencabut independesi tim seleksi, melainkan bertujuan untuk memastikan regulasi berjalan dengan tepat,” ucapnya.
Sekretaris Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM Mada Sukmajati menyatakan, secara umum, perekrutan anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota telah berjalan cukup independen dan mayoritas anggota tim seleksi berupaya menghindari intervensi dalam bentuk apa pun, termasuk menolak bertemu dengan peserta seleksi calon anggota KPU daerah. Namun, lanjutnya, tim seleksi masih terkendala dengan nilai batas kelulusan (passing grade) yang ditetapkan KPU tidak dicapai oleh calon anggota KPU daerah. Alhasil, tim seleksi menggunakan sistem peringkat untuk menentukan lulusan dalam tahap computer assisted test (CAT). Selain itu, tim seleksi juga terkendala anggaran untuk menentukan mitra kerja sama dalam tes kesehatan dan psikologi yang sesuai dengan kualifikasi yang ditentukan KPU.
”Kami memberikan penekanan dan masukan untuk perbaikan proses seleksi calon anggota KPU ke depan karena kualitas pemilu akan sangat ditentukan pada bagaimana anggota KPU itu direkrut,” kata Mada.
Adapun tim riset UGM melakukan pengumpulan data secara daring kepada sekitar 120 tim seleksi calon anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota selama 2018 hingga 2019 di 32 provinsi.
Direktur Pusat Kajian Politik UI Aditya Perdana menambahkan, di masa mendatang, KPU perlu memastikan petunjuk dan teknis pelaksanaan seleksi calon anggota KPU daerah benar-benar jelas agar tidak menimbulkan multitafsir. Di sisi lain, ia berharap KPU juga membuka pusat pengaduan untuk menjawab berbagai persoalan penting terkait penafsiran regulasi yang perlu diputuskan oleh tim seleksi.
”Perlu pula waktu bimbingan teknis yang memadai bagi para tim seleksi untuk menghasilkan pengetahuan dan pemahaman yang seragam dan menyeluruh dalam proses seleksi itu,” tutur Aditya.
Rekomendasi tersebut dihasilkan Puskapol UI setelah melakukan wawancara terhadap 23 tim seleksi untuk 20 KPU provinsi dan 73 tim untuk 306 KPU kabupaten/kota.
Kepala Biro Sumber Daya Manusia KPU Lucky Firnandy menyatakan, hasil kajian ketiga universitas itu memberikan manfaat dan masukan untuk merumuskan kebijakan terkait penguatan SDM penyelenggara pemilu di daerah. Ke depan, ia memastikan, akan berupaya mengurangi berbagai potensi masalah yang dapat ditimbulkan dalam proses seleksi anggota KPU di daerah.