Lima Negara Berkolaborasi Rawat Toleransi
Para pembuat kebijakan dan pemuka agama dari lima negara berkolaborasi menyusun rencana aksi untuk mendorong toleransi dan saling memahami antarumat beda keyakinan.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya kolaboratif antara lima negara di wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan digagas untuk meningkatkan kesepahaman dan toleransi antarumat beragama, terutama antara umat Islam dan Buddha.
Rencana-rencana aksi yang akan dilakukan secara komprehensif di internal lima negara itu, ditambah dengan dua rencana aksi yang bersifat regional, diharapkan bisa memupuk toleransi dan menjalin diskusi antaragama.
Fokus diletakkan pada hubungan antara Islam dan Buddha karena selama ini dua agama tersebut mampu hidup berdampingan dalam harmoni dan relatif rukun. Tema itu pun dipilih sebagai kelanjutan lokakarya putaran pertama di Bangkok, Thailand, tahun 2017, yang juga menyoroti hubungan antara penganut agama mayoritas dan minoritas.
Tidak terelakkan bahwa selama ini isu-isu mayoritanisme dalam beragama turut memengaruhi cara bersikap ataupun bertindak menghadapi kelompok yang berbeda.
Kegiatan selama dua hari di Jakarta itu digagas Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID), yang didukung Indonesian Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) dan jaringan Gusdurian.
Direktur Departemen Dialogue dan Outreach OKI Bashir Ansari, Kamis (19/12/2019), di Jakarta, mengatakan, OKI dalam posisi untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi umat beragama. Mekanisme yang ditempuh ialah meredakan tensi atau ketegangan antarumat beragama melalui dialog dan saling memahami antarumat beragama.
”Bukan kali ini saja OKI menyelenggarakan dialog antarumat beragama, ataupun dialog antarperadaban dan kebudayaan. OKI, misalnya, pernah mengadakan dialog antara umat Islam dan Kristen Ortodoks, dialog antara China dan umat Islam, antara Islam dan Kristen Protestan, dan kini umat Islam dengan Buddha,” kata Bashir.
Senior Advisor KAICIID Mohammed Abu-Nimer mengatakan, ada sejumlah hal yang dibahas di dalam lokakarya dua hari itu, antara lain tiga aspek penting, yakni penyebaran ujaran kebencian, pelindungan terhadap rumah ibadah, dan pendidikan inklusif.
Lima negara yang dilibatkan dalam acara itu, yakni Indonesia, Malaysia, Myanmar, Thailand, dan Sri Lanka, didorong untuk merumuskan lima rencana aksi di internal negaranya untuk menangkal ujaran kebencian, melindungi rumah ibadah, dan mewujudkan pendidikan inklusif.
Setiap negara juga direkomendasikan membuat dua rencana aksi yang bersifat regional. Bagaimana rencana aksi itu dirumuskan diserahkan kepada setiap negara.
KAICIID, menurut Abu-Nimer, menjembatani antara pembuat kebijakan dan institusi keagamaan. Tanpa keterlibatan institusi dan pemimpin agama, upaya kolaboratif dalam menciptakan situasi yang harmonis dan toleran akan sulit diraih.
Oleh karena itu, katanya, untuk mengurangi pertentangan satu sama lain dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan parlemen di lima negara dalam membuat kebijakan-kebijakan yang kolaboratif dalam tiga aspek itu, yakni mengatasi ujaran kebencian, melindungi rumah ibadah, dan mewujudkan pendidikan inklusif.
Untuk mengurangi pertentangan satu sama lain dibutuhkan kerja sama pemerintah dan parlemen di lima negara dalam membuat kebijakan-kebijakan yang kolaboratif dalam tiga aspek itu, yakni mengatasi ujaran kebencian, melindungi rumah ibadah, dan mewujudkan pendidikan inklusif.
Indonesia dipilih sebagai tempat untuk melakukan dialog setelah Thailand, pada 2017, ialah karena melihat Indonesia sebagai negara dengan kedewasaan yang baik di Asia menyangkut dialog kolaboratif mengenai toleransi dan kerukunan beragama.
Tiga aspek atau isu besar yang dibahas dalam dialog itu diyakini akan bisa terwadahi dengan melihat praktik hubungan Islam dan Buddha selama ini.
Pemuka agama Buddha dari Sri Lanka, Walmoruwe Piyarathana Thero, mengatakan, Islam dan Buddha selama ini berhasil hidup dengan harmonis di Indonesia. Oleh karena itu, menurut Thero, selalu ada ruang terbuka untuk berdialog dalam posisi yang sama untuk merasakan hidup yang setara, damai, dan harmonis antarumat beragama.
”Dialog yang dibangun pun tidak sekadar teoretis, tetapi sampai pada rekomendasi untuk menyusun rencana aksi yang praktis dalam kehidupan,” katanya.
Sebanyak 65 anggota delegasi, yang terdiri dari pembuat kebijakan, pemuka agama dari Islam ataupun Buddha yang berasal dari lima negara, berkontribusi pada dialog yang berisi dan terbuka.
Membuka kesepahaman
Menurut Debbie Affinaty, anggota lembaga hubungan dan kerja sama internasional Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengkaji hubungan antara umat beragama mayoritas dan minoritas menjadi sesuatu yang penting sehingga bisa saling mengingatkan dalam membangun peradaban dan hubungan yang harmonis.
Unsur diskriminasi dan pengabaian kerap mewarnai sikap mayoritas dalam membuat kebijakan. Hal ini berusaha didekati dengan dialog sehingga pembuat kebijakan ataupun pemuka agama masing-masing mendapatkan pemahaman soal hubungan antarumat yang damai dan harmonis.
”Misalnya, dalam pendidikan yang inklusif perlu dilihat kembali kurikulumnya, apakah sudah memuat peranan umat Buddha dalam kemerdekaan Indonesia dan perjuangannya. Jangan sampai hanya menonjolkan salah satu umat, sedangkan umat beragama lainnya tidak digambarkan sama sekali keterlibatannya. Ini bentuk pendidikan inklusif yang membantu anak-anak memahami peranan setiap umat beragama,” katanya.
Persoalan mayoritas dan minoritas juga menjadi isu yang melatarbelakangi tindakan diskriminasi di banyak negara. Di negara ketika Buddha menjadi agama minoritas, cenderung korbannya adalah mereka. Begitu pula ketika Islam menjadi agama minoritas, cenderung menjadi korban diskriminasi.
”Dialog kesepahaman antara Islam dan Buddha ini diharapkan bisa mengikis praktik-praktik semacam itu,” kata Debbie.