Pelantikan anggota Dewan Pengawas oleh Presiden Joko Widodo ditanggapi dengan kritis oleh sejumlah ahli dan pengamat antikorupsi.
Oleh
Rini Kustiasih dan Agnes Theodora
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Pelantikan anggota Dewan Pengawas oleh Presiden Joko Widodo ditanggapi dengan kritis oleh sejumlah ahli dan pengamat antikorupsi. Nama-nama yang dilantik presiden dinilai memiliki rekam jejak yang baik dan cukup memahami mekanisme pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Namun, di sisi lain keberadaan Dewas tersebut tetap disayangkan karena keberadaan orang-orang yang berintegritas baik belum tentu menjadi jaminan bagi KPK untuk optimal dalam pemberantasan korupsi.
Kelima unsur Dewan Pengawas KPK 2019-2023 itu terdiri atas Wakil Ketua KPK periode 2003-2007 Tumpak Hatorangan Panggabean (Ketua Dewas). Dengan anggota Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang, Nusa Tenggara Timur, Albertina Ho, mantan hakim agung di Mahkamah Agung Artidjo Alkostar, mantan hakim konstitusi Harjono, dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril mengatakan, nama-nama anggota Dewas itu sepanjang telah memenuhi kriteria sesuai dengan undang-undang tentu tidak masalah. Lima orang yang dilantik itu pun dipandang memiliki rekam jejak yang cukup baik selama ini dan telah lama berkecimpung di dunia hukum.
Akan tetapi, nama-nama orang yang dikenal berintegritas itu belum menjadi jaminan mereka bisa menyeimbangkan diri di dalam sistem antikorupsi yang dinaungi UU yang baru. “Persoalan dewas bukan semata-mata menyangkut personal masing-masing anggotanya, karena ini adalah problem sistematis. Sistem pegawasan KPK dengan nama dewas beserta fungsi-fungsinya itu sendiri problematik, dan seharusnya lembaga itu tidak ada di dalam sistem,” kata Oce, Jumat (20/12/2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Secara umum, lima orang yang ditunjuk sebagai dewas itu memiliki integritas yang baik. Oce berharap anggota dewas bisa terlepas dari jebakan sistem yang kurang kondusif bagi KPK dan upaya pemberantasan korupsi. Sebab keberadaan dewas itu bagaimana pun adalah produk UU No 19/2019 tentang KPK yang dinilai melemahkan KPK. Dewas menurut UU KPK tersebut terlibat langsung dengan penegakan hukum atau projustitia.
“Pak Tumpak, misalnya, sudah diketahui merupakan mantan pimpinan KPK periode pertama. Pernah juga dia menjabat pelaksana tugas pimpinan KPK. Dengan demikian, dia memiliki pengalaman yang cukup baik dalam bidang pemberantasan korupsi, sehingga tidak akan ada kesulitan menyesuaikan diri dengan ritme di KPK. Namun, harus diingat pula UU yang baru berbeda dengan UU lama,” katanya.
Oce juga menyayangkan tidak adanya keterbukaan dalam pemilihan dewas. Presiden sepenuhnya memilih anggota dewas, sementara peranan mereka saat ini sangat krusial dalam menentukan arah KPK ke depan.
Pengajar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Gandjar Laksmana mengatakan, tanpa mengecilkan lima nama yang dipilih oleh presiden, keberadaan mereka tidak menjamin gerak KPK akan lebiih leluasa. Pasalnya, UU KPK yang baru tidak hanya mengatur tentang keberadaan dewas yang memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, tetapi juga mengatur posisi pimpinan KPK yang tidak lagi akan menjadi penyidik dan penuntut.
“Artinya, dewas mau diisi malaikat sekali pun, secara sistemik KPK telah dilemahkan, lantaran banyak aturan lain yang membatasi. Lagi pula tidak ada jaminan orang-orang baik yang ada di dewas sekarang tidak akan diganti oleh presiden bilamana ada kebijakan KPK yang kurang berkenan. Selain itu, tidak ada jaminan pula dewas dalam periode selanjutnya juga akan diisi oleh orang-orang dengan integritas setara,” kata Gandjar.
Menurut Gandjar, orang-orang yang saat ini dilantik presiden menjadi anggota dewas adalah orang-orang yang memiliki rekam jejak yang baik. Akan tetapi, ke depannya secara sistemik tetap diperlukan perbaikan dalam organisasi KPK melalui revisi UU KPK. Harapannya, pimpinan KPK tidak sekadar menjadi administratur, dan tidak ada lagi lembaga pengawas di internal KPK yang turut campur dalam penegakan hukum.
Problematik
Lepas dari komposisinya, kelembagaan Dewas yang pada dasarnya problematik dikhawatirkan tetap bisa menghambat upaya pemberantasan korupsi. Kelima unsur Dewas diharapkan bisa menjaga independensi dan integritasnya untuk memperkuat pemberantasan korupsi selama lima tahun ke depan.
Pengajar Hukum Pidana di Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar saat dihubungi mengatakan rekam jejak para tokoh yang ditunjuk Presiden Joko Widodo itu sebelum ini sebenarnya terhitung independen, berintegritas, dan relatif tidak ada masalah. Meskipun demikian, mereka terjun ke dalam sistem kelembagaan yang pada dasarnya sudah problematik. Sehingga, menurutnya, itu akan tetap menjadi masalah.
Menurut Abdul, salah satu kekeliruan utama kelembagaan Dewas adalah konteks kedudukannya yang bukan penegak hukum, tetapi kewenangannya mencapai ranah pro yustisia. Dewas bisa memengaruhi penindakan korupsi yang dilakukan KPK karena berwenang memberi izin atau melarang penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh KPK.
“Ini kesalahan sistemik pada kedudukan lembaga Dedwas, sehingga siapapun orang-orangnya, tidak akan berpengaruh banyak terhadap arah pemberantasan korupsi di KPK ke depan,” katanya.
Ia mengatakan, setelah ini, ketika unsur Dewas KPK tidak lagi ditunjuk presiden tetapi melalui mekanisme panitia seleksi, ada kemungkinan Dewas yang terpilih problematik dan tidak independen.
“Saat ini semua mata menyoroti pembentukan Dewas ini, sehingga pasti yang terpilih adalah orang-orang berintegritas. Ke depan, ketika mekanisme lewat pansel, tidak ada yang bisa menjamin kepentingan apa saja yang bisa ikut campur melalui unsur Dewas,” ujar Fickar.
Secara kelembagaan, kedudukan KPK ke depan tidak jelas. Dewas memiliki kewenangan menyerupai penegak hukum, sementara komisioner KPK hanya menjalankan fungsi administratif atau manajerial dan tidak bisa lagi menyentuh level penindakan dan pegenakan hukum. Ini karena status komisioner KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut.
Rekam jejak
Di sisi lain, unsur komisioner KPK periode 2019-2023 juga banyak disoroti karena rekam jejak bermasalah. Sosok yang paling banyak mendapat sorotan adalah Ketua KPK Firli Bahuri. Ia sempat menjabat Deputi Penindakan KPK periode 2018-2019. Kala itu, dia diduga melanggar kode etik dan pernah diperiksa Direktorat Pengawasan Internal KPK. Namun, proses tidak tuntas karena Firli ditarik kembali ke Polri.
“Dari sudut pandang itu, ke depan, gerak KPK dan pemberantasan korupsi secara umum akan sulit sepertinya karena secara sistem maupun unsur pimpinannya bermasalah,” katanya.
Untuk itu, selama lima tahun masa jabat ke depan, diharapkan kelima Dewas KPK bisa menggunakan kewenangan secara bijak tanpa menghambat upaya pemberantasan korupsi. Para anggota Dewas harus bisa membuktikan diri tetap independen dan berintegritas serta tidak bisa dititipkan kepentingan politik apapun, meskipun kedudukannya di bawah Presiden dan ditunjuk oleh Presiden.
“Untuk jangka panjang, tetap harus ada perbaikan undang-undang untuk mengembalikan lagi posisi kelembagaan KPK sebagai lembaga independen,” kata Fickar.
Adapun pembentukan Dewan Pengawas KPK merupakan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU KPK direvisi oleh DPR dan Pemerintah secara diam-diam dan dalam waktu singkat pada September 2019 lalu.
Dalam Pasal 21 Ayat 1 diatur, KPK terdiri dari Dewan Pengawas yang berjumlah lima orang; pimpinan KPK yang terdiri dari lima orang; dan pegawai KPK. Dalam Pasal 37A disebut, Dewan Pengawas dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Selain mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, Dewan Pengawas juga bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan; menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan serta pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain itu juga menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang KPK; menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi; serta melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala satu kali dalam satu tahun.