Kekerasan, Pasal Karet, dan Pembatasan Internet Hambat Kinerja Jurnalis
Pada tahun ini, kasus kekerasan terhadap pers, jebakan sejumlah pasal karet, serta pembatasan internet menghambat kinerja jurnalis dan pers. Hal ini perlu segera dibenahi agar tidak terjadi pada tahun-tahun selanjutnya.
Oleh
fajar ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada 2019 ini, Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah dalam urusan kebebasan pers. Kasus kekerasan terhadap jurnalis, jebakan sejumlah pasal karet, serta pembatasan internet menghambat kinerja jurnalis dan pers.
Selama tiga tahun berturut-turut, Indonesia menempati peringkat ke-124 dalam Indeks Kebebasan Pers yang dirilis oleh lembaga pemeringkat internasional yang berpusat di Paris, Reporters Without Border (RSF). Pada tahun ini, Indonesia mendapatkan skor 36,77.
Peringkat Indonesia berada di bawah dua negara tetangga, yakni Timor Leste dan Malaysia. Timor Leste menduduki peringkat ke-84 dengan skor 29,93, sedangkan Malaysia berada di peringkat ke-123 dengan skor 36,74.
”Kekerasan terhadap pers menjadi salah satu faktor penting mengapa indeks kita rapuh di dunia internasional,” kata Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan.
Kekerasan terhadap pers menjadi salah satu faktor penting mengapa indeks kita rapuh di dunia internasional.
RSF mencatat, semakin rendah skor, maka Indeks Kebebasan Pers semakin baik. Perolehan skor tersebut merujuk pada tiga aspek, yakni lingkungan hukum, lingkungan politik, dan lingkungan ekonomi.
Menurut Abdul Manan, aspek lingkungan hukum guna mengukur apakah regulasi sebuah negara cukup suportif terhadap jurnalis. Aspek selanjutnya adalah lingkungan politik, yakni seberapa banyak kekerasan terhadap jurnalis terjadi di sebuah negara.
Kekerasan tersebut berdampak langsung terhadap kebebasan pers yang membuat jurnalis takut dan membuat langkah hati-hati. Terlebih jika berujung pada kasus pembunuhan.
”Aspek terakhir adalah aspek lingkungan ekonomi di mana kepemilikan media di sebuah negara tidak hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu saja,” katanya.
AJI menganalisis, masalah regulasi adalah aspek yang paling menghalangi laju kebebasan pers di Indonesia menjadi lebih baik. Untuk itu, AJI mendorong pemerintah merevisi 10 pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait kebebasan pers.
”Pasal terkait pencemaran nama baik menjadi pasal karet yang banyak digunakan untuk menjerat jurnalis,” kata Manan.
Pasal terkait pencemaran nama baik menjadi pasal karet yang banyak digunakan untuk menjerat jurnalis.
Manan membandingkannya dengan Malaysia. Negara tersebut mengubah sejumlah kebijakan dan regulasi terkait pers. Misalnya, mengeluarkan kebijakan penghapusan akta hasutan. Selain itu, di negara tersebut juga jarang terdengar ada aksi kekerasan terhadap jurnalis.
Kekerasan
Bidang advokasi AJI mencatat setidaknya ada 53 kasus kekerasan yang dialami para jurnalis sepanjang 2019 ini. Angka ini turun dibandingkan dengan jumlah kasus sepanjang 2018 atau 2017. Kendati demikian, angka ini masih berada di atas angka rata-rata 10 tahun sebelumnya.
Di antara 53 kasus kekerasan tersebut, kekerasan fisik mendominasi dengan 20 kasus. Diikuti perusakan alat dan data hasil liputan (14 kasus), ancaman kekerasan (6 kasus), kriminalisasi (5 kasus), dan pelarangan liputan (4 kasus). Pada tahun sebelumnya, kekerasan fisik juga mendominasi dengan 12 kasus pada 2018 dan 30 kasus pada 2017.
”Kasus-kasus kekerasan wartawan ini banyak terkait dengan aksi massa yang berpotensi ricuh, seperti Mei dan September lalu,” kata Ketua Bidang Advokasi AJI Sasmito Madrin.
Menurut Sasmito, sejumlah kasus belum diusut secara tuntas hingga menjelang pergantian tahun ini. Khusus kasus kekerasan di Makassar, penanganan memang sudah dilakukan, tetapi tidak sesuai dengan tuntutan, yakni menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
”Di luar itu, belum ada kasus yang diselesaikan secara tuntas. Pun juga yang terjadi di Jakarta. Satu kasus yang sudah tuntas hingga tahap pengadilan adalah kekerasan yang dialami jurnalis di Rembang sejak 2016,” ujarnya.
Sasmito menambahkan, tidak menutup kemungkinan daftar kekerasan pada jurnalis akan bertambah sebelum memasuki 2020. Sebab, ada sejumlah kasus kekerasan di Papua yang belum disertakan dalam data AJI. Lebih kurang ada sekitar 10 laporan ke Dewan Pers yang belum diverifikasi.
Pembatasan internet
Sekretaris Jenderal AJI Revolusi Riza mengatakan, selama 2019 kerja-kerja jurnalis juga terganggu dengan kebijakan pembatasan internet. Baik dalam huru-hara Papua maupun demonstrasi di Jakarta. Meski pemerintah berdalih untuk mencegah penyebaran hoaks, AJI menyayangkan hal tersebut.
Hak publik atas informasi terbatasi. Teman-teman yang di Papua kesulitan melaporkan kejadian di sana. Kita tidak bisa melakukan pengiriman data.
”Hak publik atas informasi terbatasi. Teman-teman yang di Papua kesulitan melaporkan kejadian di sana. Kita tidak bisa melakukan pengiriman data,” ujarnya.
Penolakan tersebut, lanjut Riza, bukan tanpa sebab karena memerangi hoaks ada cara selain pembatasan yang bisa ditempuh, yakni melakukan kontranarasi. Kontranarasi bukan mustahil dilakukan, apalagi Kementerian Komunikasi dan Informatika memiliki banyak sumber daya dan perangkatnya.