Data Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, untuk maju sebagai bupati atau wali kota dibutuhkan dana hingga Rp 30 miliar. Sementara untuk menjadi gubernur, dibutuhkan dana hingga Rp 100 miliar.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pesta demokrasi lokal dalam pemilihan kepala daerah, baik wali kota, bupati, maupun gubernur, semestinya tidak menelan biaya tinggi bagi para calon yang ingin maju. Namun, praktik mahar politik dan politik transaksional membuat pengeluaran calon kepala daerah pun menjadi tinggi.
Data Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, untuk maju sebagai bupati atau wali kota dibutuhkan dana hingga Rp 30 miliar. Sementara untuk menjadi gubernur, dibutuhkan dana hingga Rp 100 miliar.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, biaya pemilihan kepala daerah (plkada) sebenarnya dapat dibuat efisien. Namun, calon kepala daerah harus “beli perahu” untuk dicalonkan oleh partai politik (parpol), dalam pemilihan pun para calon kepala daerah masih harus membeli suara.
Pesta demokrasi lokal akan kembali berlangsung tahun 2020. Sebanyak 270 daerah akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020.
Analis Kebijakan dari KPPOD, Gliddheo Algifari pun menyatakan, ada dua penyebab tingginya biaya politik dalam Pilkada. Ada biaya resmi dan biaya tidak resmi.
Untuk biaya resmi, biaya politik dipengaruhi oleh durasi masa kampanye dan kebutuhan logistik untuk berkampanye. Belum lagi, mahalnya biaya saksi dengan perkiraan Rp 200.000 per saksi dan dibutuhkan setidaknya hingga Rp 1 miliar.
Adapun biaya tidak resmi, yaitu pemberian mahar kepada parpol untuk mendukungnya dalam pencalonan. Politik uang dengan membeli suara konstituen menjelang pemilihan juga masih kerap terjadi.
Legitimasi masyarakat
Meski begitu, Gliddheo menekankan pilkada langsung harus tetap menjadi sistem yang dijalankan oleh daerah otonom. Sebab, probabilitas aspirasi publik akan terserap lebih tinggi melalui pilkada langsung sehingga regenerasi kepemimpinan akan mendapat legitimasi dari masyarakat.
Untuk itu, negara pun harus hadir dengan memberikan bantuan syarat kepada parpol. Dengan begitu, negara memiliki legitimasi untuk dapat mengatur parpol hingga mengintervensi parpol untuk dapat menerapkan sistem merit dalam pencalonan kepala daerah.
“Menjelang Pilkada Serentak 2020 pun perlu ada evaluasi besar-besaran. Pemilihan pendahuluan dari internal parpol, bagaimana putra putri terbaik parpol dapat maju harus dilakukan dan dipastikan oleh parpol,” ujar Gliddheo.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby juga menilai, pencalonan kepala daerah oleh parpol menjadi tahapan yang sangat rentan dengan potensi politik transaksional. Untuk itu, sistem politik harus mampu menjamin syarat calon terpenuhi sehingga jumlah minimum dukungan tidak menjadi polemik.
Pengurus parpol pun bertekad penuh mendukung pilkada bersih tanpa transaksional. Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk Paulus menyatakan, dalam rangka menuju partai modern, Golkar terus berkomitmen untuk menjadi partai yang bersih. “Kami akan melaksanakan Pilkada 2020 tanpa mahar politik,” tegasnya.
Wakil Bendahara Umum PDI-Perjuangan Rudianto Tjen mengatakan, parpol memang sudah seharusnya menjadi tempat kaderisasi anggota. Untuk itu, PDI-P akan melakukan seleksi internal dalam memajukan kader terbaiknya dalam Pilkada Serentak 2020.
Editor:
hamzirwan
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.