JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan kebebasan beragama yang terjadi di sebagian daerah dinilai berakar pada penguatan konservatisme. Ketidakmampuan pemerintah daerah untuk melindungi kaum minoritas makin mengamplifikasi pembatasan tersebut.
Direktur Riset Setara Institute Halili, Rabu (25/12/2019), menyebutkan penebalan identitas keagamaan yang menggunakan segala macam alat legitimasi juga cenderung memperkuat hal tersebut. Salah satunya adalah pembatasan kebebasan merayakan Natal secara bersama-sama di salah satu tempat, sebagaimana sempat dialami sebagian orang di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, beberapa waktu lalu.
”Dalam konteks (Kabupaten) Dharmasraya ini, adat dan kearifan lokal digunakan sebagai alat legitimasi saja untuk merestriksi hak-hak (kaum) minoritas,” ujar Halili.
Menurut dia, konservatisme ini pada praktiknya bertemu dengan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengambil inisiatif untuk memprioritaskan toleransi dan perlindungan golongan minoritas di daerah setempat.
Dalam beberapa tahun terakhir, tambahnya, hal serupa cenderung berulang di Sumatera Barat. Pada Natal 2019 ini, pihaknya belum mencatat adanya gejala yang sama di tempat-tempat lain.
Berdasarkan hasil riset Setara Institute yang dirilis pada 11 November 2019 dengan judul ”Potret 12 Tahun Kebebasan Beragama/Berkeyakinan”, Sumatera Barat berada di posisi ke-8 dalam daftar 10 provinsi dengan peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan selama 12 tahun terakhir. Sebanyak 104 peristiwa tercatat selama periode tersebut.
Pelayanan Terbaik
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar saat dihubungi pada hari yang sama mengatakan, Mendagri sudah memerintahkan kepala daerah agar memberikan pelayanan terbaik guna mendukung kelancaran pelaksanaan Natal 2019. Hal sama dilakukan untuk peringatan Tahun Baru 2020. Ini dilakukan bersama-sama dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan tokoh masyarakat setempat.
Pada kesempatan itu, Bahtiar juga menyertakan Laporan Pembinaan Kerukunan Umat Beragama dari Bupati Dharmasraya. Laporan dengan nomor 200/258/Kesbangpol/XII-2019 bertanggal 22 Desember 2019 itu ditandatangani Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan.
Laporan tersebut merupakan tindak lanjut surat dari Mendagri dengan nomor 003.2/14151/SJ tanggal 20 Desember 2019 perihal pembinaan kerukunan umat beragama. Isi laporan tersebut terdiri atas empat poin.
Poin pertama berisikan pernyataan bahwa pada prinsipnya seluruh anggota FKUB Kabupaten Dharmasraya menghormati umat beragama dalam menjalankan ajaran agama masing-masing. Poin kedua berupa pernyataan salah seorang anggota FKUB Kabupaten Dharmasraya yang menyebutkan tidak pernah diintimidasi serta tidak pernah dilarang menjalankan ibadah dan merayakan Natal.
Poin ketiga tentang penjelasan bahwa pada tahun 2019 ada sekitar lima titik peribadatan umat Kristiani di Kabupaten Dharmasraya. Poin keempat tentang adanya kesepakatan di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, yang didasarkan pada perjanjian antara tokoh adat dan para transmigran pada tahun 1965. Kesepakatan itu disebutkan dihormati untuk menjauhi gesekan antarkomunitas menyusul kerukunan umat beragama selama ini yang terjalin baik.
Pada bagian akhir, Pemerintah Kabupaten Dharmasraya menjamin situasi yang kondusif. Jaminan ini terkait pula dengan kondisi keamanan di daerah secara keseluruhan saat menjelang dan sampai hari perayaan Natal.
Berjalan Lancar
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik pada hari yang sama menyampaikan pemerintah daerah harus hadir untuk memastikan warga dapat melaksanakan hak beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing secara aman dan damai. Fasilitasi oleh pemerintah daerah dengan tetap mengutamakan harmonisasi bermasyarakat, ujar Akmal, harus menjadi pertimbangan di masa berikutnya.
Akmal juga mengatakan, secara umum, perayaan Natal di seluruh daerah otonom berjalan aman dan lancar. Menurut dia, hal ini menunjukkan kesadaran kebebasan beragama dalam bingkai daerah otonom di 542 daerah semakin baik.
”Bahwa ada beberapa dinamika yang terjadi, perlu kita maknai sebagai proses pematangan dalam kemajemukan yang masih harus kita sempurnakan terus-menerus di masa depan,” sebut Akmal.
Menurut Akmal, negara dan pemerintah, termasuk pemerintah daerah, akan menjamin kebebasan beragama. Hal ini berlaku di semua daerah di Indonesia.