JAKARTA, KOMPAS – Pemberian hak-hak narapidana seperti remisi dan pembebasan bersyarat menjadi salah satu pembahasan utama dalam perumusan Rancangan Undang-undang Pemasyarakatan. Sejumlah ketentuan yang terkait remisi, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 akan dikaji substansinya, sehingga dalam praktiknya menjadi lebih jelas dan transparan.
Pembahasan mengenai hak-hak napi atau warga binaan menjadi penting dengan menimbang kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) saat ini yang kelebihan penghuni (overcrowded). Berdasarkan sistem database pemasyarakatan per 23 Desember 2019, jumlah warga binaan pemasyarakatan di seluruh Indonesia 269.924 orang. Mereka terdiri atas 202.690 napi, 64.512 tahanan, dan 2.722 napi anak. Adapun kapasitas hunian lapas dan rutan di Indonesia saat ini hanya cukup untuk 130.559 orang. Dari jumlah warga binaan tersebut, sekitar 47,57 persen adalah napi dan tahanan dalam kasus narotika, yakni sebanyak 128.437 orang.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Nasir Djamil mengatakan, RUU Pemasyarakatan antara lain diharapkan bisa mengatasi kondisi tersebut. Pemberian hak-hak napi melalui remisi dan pembebasan bersyarat dinilai bisa mengurangi beban lapas dan rutan. Akan tetapi, sejumlah ketentuan dinilai perlu untuk dikaji, seperti PP No 29/2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
“Selama ini, PP tersebut dinilai ikut menyumbang terjadinya overkapasitas di dalam lapas dan rutan. Kalau pun ingin ada pemberatan pemberian remisi kepada napi tertentu, sebaiknya hal itu dilakukan melalui putusan pengadilan, bukan diatur di dalam PP,” kata Nasir, Rabu (25/12/2019) di Jakarta.
PP No 99/2012 antara lain mengatur pengetatan syarat pemberian remisi bagi tindak pidana khusus, yakni terorisme; narkotika dan prekursor narkotika; psikotropika; korupsi; kejahatan terhadap keamanan negara; kejahatan hak asasi manusia yang berat; serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. Menurut PP tersebut, untuk bisa mendapatkan remisi, seorang pelaku jenis-jenis kejahatan khusus tersebut harus berstatus justice collabolator (JC), yakni orang yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar jaringan kejahatannya.
Menurut Nasir, selama ini praktiknya penegak hukum mengajukan status JC kepada pengadilan atas napi yang dinilai telah bekerja sama membongkar jaringan kejahatannya. Akan tetapi, pengajuan itu dilakukan tidak di dalam persidangan, melainkan di luar persidangan. Mekanisme pemberian JC itu diusulkan untuk diubah, yakni dengan mempertimbangkan fakta-fakta persidangan, dan melalui putusan hakim.
Berbeda dengan usulan Nasir, terkait PP No 99/2012, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho mengatakan, peraturan itu sejak awal memang mengundang banyak perdebatan di tengah publik. Ada tiga pertimbangan yang muncul, yakni antara keinginan untuk memperberat syarat remisi bagi napi kasus tindak pidana khusus (tipidsus), dan adanya hak-hak mereka sebagai napi yang boleh mengajukan remisi, serta melihat kondisi riil lapas dan rutan yang kelebihan penghuni.
“Kalau memang pengaturan atau pengetatan syarat remisi ingin dibahas substansinya dalam kaitannya dengan RUU Pemasyarakatan, bisa saja, yakni dengan memasukkan ketentuan itu ke dalam norma UU. Dengan demikian, tidak diatur lagi di dalam PP, tetapi masuk ke dalam UU,” kata Hibnu.
Norma mengenai pengetatan syarat itu pun idealnya diatur lebih jelas dan transparan. Pemberian status JC harus didedah secara detil dan seksama di dalam UU, sehingga tidak ada celah permainan dalam pengajuan JC. Selama ini, menurut Hibnu, penilaian layak tidaknya seseorang mendapatkan JC kerap tidak jelas, sehingga terbuka bagi oknum-oknum penegak hukum untuk “memainkan” pengajuan JC itu untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
“Jangan seolah-olah pendekatannya formalitas, sehingga semua bisa mendapatkan JC. Kesannya ialah remisi diobral. Harus jelas JC itu apa, syaratnya apa saja, dan harus dipastikan mereka yang mendapatkan JC benar-benar berkontribusi membongkar jaringan kejahatannya. Ini harus diatur sehingga tidak ada kesan diskriminasi, atau pemberian remisi yang tidak pas,” katanya.
Rehabilitasi pengguna narkotika
Direktur Eksekutif Center for Detention Studies (CDS) Ali Aranoval mengatakan, remisi memang menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kepadatan di dalam lapas dan rutan. Sekalipun belum terlalu signifikan, pemberian remisi umum saat Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus, maupun remisi khusus saat hari-hari besar keagamaan cukup membantu mengurangi kepadatan.
Seperti saat perayaan Natal 2019, sebanyak 12.629 napi mendapatkan remisi khusus. Rinciannya, 2.704 orang menerima remisi 15 hari, 7.895 orang menerima remisi 1 bulan, 1.507 menerima remisi 1 bulan 15 hari, dan 357 orang mendapat remisi 2 bulan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 166 napi bebas murni setelah sisa masa hukumannya habis dikurangi remisi.
Ali mengatakan, problem utama kepadatan lapas dan rutan ialah pengguna narkotika. “Untuk mengatasi kepadatan secara signifikan, selain fokus pada pemberian remisi, pembuat undang-undang harus pula memastikan pengguna narkotika tidak dipenjara. Mereka idealnya direhabilitasi, sehingga tidak memadati lapas dan rutan,” katanya.
Di sisi lain, pemberian remisi yang digagas di dalam RUU Pemasyarakatan harus pula menyertakan penilaian yang terukur pada masing-masing napi. “Setiap napi itu persoalannya berbeda-beda, sehingga tidak bisa didekati secara general. Harus ada individual treatment, yang memerlukan keahlian dan kompetensi khusus dari petugas lapas. Misalnya, ada program-prorgam intervensi yang bisa diukur untuk melihat apakah napi bersangkutan telah benar-benar berkelakuan baik ataukah tidak,” katanya.