Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan, yang menjadi korban penyiraman air keras, mengapresiasi Kepolisian Negara RI karena mengungkap perkara yang menimpanya.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan, yang menjadi korban penyiraman air keras, mengapresiasi Kepolisian Negara RI karena mengungkap perkara yang menimpanya. Namun, Novel menyangsikan penyerangan terhadapnya semata karena ketidaksukaan pelaku.
Saat dua tersangka dugaan penyerangan terhadap Novel, yakni RM dan RB yang merupakan anggota aktif kepolisian, dipindahkan dari ruang tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya ke ruang tahanan Bareskrim Polri, Sabtu (28/12/2019), RB berteriak. Ia mengatakan Novel adalah pengkhianat dan dirinya tak menyukainya. Sementara itu, kepolisian belum bersedia menyampaikan temuan sementara terkait motif pelaku.
Menanggapi hal ini, Novel saat dihubungi di Jakarta, Minggu (29/12), menilai, ada sisi positif dari upaya pengungkapan perkara yang menimpa dirinya. Namun, ia mempertanyakan motif pelaku yang disebut adalah tidak suka kepada dirinya. Menurut Novel, dirinya tak punya masalah pribadi dengan pelaku. ”Kalau disebut dendam pribadi dan tak ada kaitan dengan hal lain, rasanya aneh tidak?” ujar Novel.
Selanjutnya, Novel tak ingin banyak berkomentar. Ia menghormati proses hukum di kepolisian dan menunggu proses lebih lanjut.
Penyerangan dengan air keras terhadap Novel terjadi pada April 2017. Akibatnya, mata kiri Novel rusak parah.
Pelaku satu kesatuan
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Argo Yuwono menyebutkan, RB dan RM berasal dari kesatuan yang sama. Namun, ia tak bersedia menyampaikan nama kesatuan, nama lengkap, dan pangkat pelaku. ”Kalau itu (pangkat kedua tersangka), biarlah nanti hakim yang bertanya di pengadilan,” ujarnya.
Dia mengingatkan penanganan kasus dengan tersangka RM dan RB harus tetap dilihat dalam konteks asas praduga tak bersalah. ”Tugas polisi bukan menghakimi, tetapi membuktikannya di pengadilan,” kata Argo. Menurut dia, saat ini kedua tersangka dijerat Pasal 170 subsider Pasal 351 Ayat 2 KUHP. Dua pasal itu mengatur tentang kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum dan penganiayaan dengan luka-luka berat.
Enam kasus potensial
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam, mengatakan, secara hukum memang ada alasan proses penyidikan tidak dibuka. Hal tersebut dilakukan antara lain karena ada kekhawatiran bukti dapat rusak. Namun, menurut Anam, mengingat kasus Novel mendapat perhatian publik yang luas, bahkan dari Presiden Joko Widodo, ada baiknya perkembangan kasus disampaikan kepada publik secara transparan.
Komnas HAM, menurut dia, menempatkan Novel sebagai HRD (human rights defender). Alasannya, peristiwa yang dialami Novel terjadi sebagai akibat dari pekerjaannya dalam memberantas korupsi. Karena itu, penting untuk melihat kembali apa yang disimpulkan.
Kesimpulan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Novel antara lain menyebutkan ada enam kasus yang berpotensi berhubungan dengan penyerangan Novel. Keenamnya ialah korupsi KTP elektronik; korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar; korupsi mantan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi; korupsi mantan Bupati Buol, Sulawesi Tengah; dan kasus korupsi Wisma Atlet.
Anam mengatakan, hubungan tersangka RM dan RB mesti disebutkan dalam enam kasus tersebut. Selain itu, penyerangan terhadap Novel diduga terkait dengan keterlibatan Novel dalam penembakan pencuri sarang burung walet di Bengkulu, 2004 (Kompas, 18/7/2019).
Alghiffari Aqsa dari tim advokasi hukum Novel menilai pernyataan dari salah satu pelaku yang telah ditangkap dapat ditelusuri. Hal ini juga bisa mementahkan persoalan dendam pribadi yang dinilai janggal sebagai motif pelaku. (IAN/INK)