Pimpinan jilid IV KPK sudah merampungkan tugas. Capaian di bidang penindakan melonjak, begitu pula dengan uang negara yang diselamatkan dari pencegahan. Bagaimana kinerja KPK jilid V di rezim UU KPK yang baru; 19/2019?
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
Selain menutup tahun 2019, pimpinan jilid IV KPK juga merampungkan tugas. Capaian di bidang penindakan melonjak, begitu pula dengan uang negara yang diselamatkan dari pencegahan. Bagaimana kinerja KPK jilid V di rezim UU KPK yang baru; UU 19/2019?
Mengacu pada data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jumlah pelaku korupsi yang ditindak sepanjang 2015 hingga pertengahan Desember 2019 mencapai 608 orang. Jumlah ini lebih banyak ketimbang pelaku yang ditindak KPK jilid I-III, yakni 455 pelaku. Begitu pula dengan jumlah kasus yang naik ke penyidikan. Di tahun 2015-2019, ada 539 perkara naik ke penyidikan. Sebagai pembanding, dari 2004-2019 ada 887 perkara yang disidik KPK.
Adapun jumlah perkara dan pelaku korupsi itu berasal dari operasi tangkap tangan (OTT) dan case-building atau pembangunan kerangka kasus, juga pengembangan perkara. Dari 608 orang tersangka tahun 2015-2019, tercatat 327 orang ditetapkan sebagai tersangka setelah terjerat operasi tangkap tangan. Sisanya berasal dari pengembangan perkara dan case-building.
Jumlah ini sejalan dengan meningkatnya operasi tangkap tangan empat tahun terakhir. KPK melakukan 87 operasi tangkap tangan dengan intensitas penangkapan tertinggi pada 2018, yakni mencapai 30 kegiatan. Pada kepemimpinan KPK jilid sebelumnya, operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK bahkan tak sampai 10 aktivitas per tahun. Meski intensitas operasi tangkap tangan pada era pimpinan jilid IV cukup tinggi, sejumlah kasus besar juga tetap berjalan dan dibuka.
Selain penindakan, KPK juga melakukan pencegahan dengan membantu pembenahan sistem di sejumlah pemerintah daerah dengan membangun perencanaan elektronik, penganggaran elektronik, dan katalog elektronik. Pengembalian keuangan negara melalui upaya ini sepanjang 2016-2019 mencapai Rp 63,97 triliun.
Di tengah geliat pemberantasan korupsi yang kian gencar, pada 17 Oktober 2019, undang-undang yang mengubah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK diundangkan menjadi UU No 19/2019.
Sejumlah pasal kontroversial yang berulangkali dikritik pimpinan dan pegawai KPK, serta aktivis antikorupsi tetap muncul dalam undang-undang ini. Di antaranya, munculnya organ Dewan Pengawas KPK yang masuk ranah proyustisia dengan berwenang memberi atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara, wewenang penghentian perkara, hingga perubahan kelembagaan KPK.
Dorongan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang muncul dari kelompok masyarakat sipil, tetapi hal itu hingga akhir Desember 2019 tidak terwujud. Sementara itu, gugatan uji formil terhadap pembentukan UU 19/2019 ke Mahkamah Konstitusi masih bergulir.
Menguji Kinerja
Mau tak mau, KPK kini harus bekerja dengan landasan UU 19/2019. Berbagai penyesuaian terpaksa dilakukan. Salah satu yang diprediksi bakal terimbas adalah kegiatan operasi tangkap tangan yang digunakan lembaga ini sebagai efek kejut dan penjeraan. Berlakunya undang-undang baru, membuat OTT sulit digelar karena alur birokrasi yang terlampau panjang. Ini karena penyadapan memerlukan izin dari Dewan Pengawas KPK. Potensi kebocoran informasi dinilai tinggi karena semakin banyak orang yang campur tangan dan mengetahui prosesnya.
Sejak UU 19/2019 efektif berlaku, hingga akhir Desember, tak ada operasi tangkap tangan KPK. Namun, hal ini juga tidak terlepas dari belum terbentuknya Dewan Pengawas KPK yang baru dilantik Presiden Jokowi pada 20 Desember 2019.
Wakil Ketua KPK 2015-2019 Saut Situmorang menyampaikan, operasi tangkap tangan sejatinya tetap diperlukan dalam penindakan korupsi. Meski jumlah penyitaan awal kerap dianggap receh, pengembangan dari operasi tangkap tangan ini bisa membawa ke pelaku yang lebih besar. Contohnya pada kasus suap dana perimbangan yang kemudian menyeret bekas Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan, atau kasus suap DPRD Provinsi Jambi yang sampai pada bekas Gubernur Jambi Zumi Zola.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, menilai sulitnya menggelar operasi tangkap tangan ini dapat berpengaruh pada eksistensi KPK secara kelembagaan. Meski peluang melakukan case-building tetap terbuka, operasi tangkap tangan masih dibutuhkan.
“OTT ini bagian dari upaya efek kejut pemberantasan korupsi, bukan alat festivalisasi seperti yang sering diungkap politisi. Ini muncul karena yang terjerat adalah rekan-rekan mereka atau ada ketakutan pengembangan perkaranya sampai pada mereka. Korupsi ini kejahatan dengan tingkat kecanggihan tinggi sehingga upaya memberantasnya harus masif. Tidak hanya dengan mencegah saja. Berbagai upaya harus diefektifkan,” kata Fickar.
Sejauh ini Ketua KPK 2019-2023 Firli Bahuri mengindikasikan, penindakan menjadi opsi terakhir dari langkah pemberantasan korupsi oleh KPK. Misalnya, pada saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, sebagai calon pimpinan KPK, Firli menyatakan merasa sedih melihat operasi penangkapan yang dilakukan KPK.
”Saya sedih kalau melihat orang ditangkap tangan. Lagi pula terus-menerus tangkap orang, penuh penjara. Yang benar itu, pencegahan yang dikuatkan,” katanya (Kompas, 14 Sep 2019).
Di usia KPK yang sudah menginjak 16 tahun, tepat pada 29 Desember 2019, sepak terjang dan kinerja lembaga ini semestinya kian mantap. Namun, berbagai perubahan mendasar lewat revisi UU KPK, membuat pemberantasan korupsi oleh KPK ke depan menarik disimak. Meredup atau justru kian garang?