Penyusunan Kode Etik KPK Jangan Sampai Hambat Pemberantasan Korupsi
Pola hubungan kerja antara Dewan Pengawas dan pimpinan KPK harus diatur dengan jelas. Kedua unsur ini memiliki kewenangan yang saling berkaitan, yakni izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Oleh
sharon patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi akan mulai bekerja pada Jumat (3/1/2020). Penyusunan kode etik menjadi langkah penting untuk segera dilakukan Dewan Pengawas, tetapi harus dipastikan kode etik tidak menghambat upaya pemberantasan korupsi.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) dari Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menyatakan, Pukat tetap melihat Dewan Pengawas (Dewas) adalah konsep yang keliru. Meskipun begitu ”nasi sudah menjadi bubur”.
Untuk itu, harus dipikirkan juga agar Dewas dapat bekerja dengan bertanggung jawab dan tidak menghambat upaya pemberantasan korupsi. Dewas perlu melengkapi kekurangan-kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU No 19/2019).
”Salah satu kekurangan itu adalah ketiadaan pengaturan kode etik bagi Dewas. Ketika Dewas membuat kode etik untuk pimpinan dan pegawai KPK, itu juga seharusnya mutatis mutandis atau tetap berlaku bagi Dewas,” kata Zaenur saat dihubungi Kompas, Kamis (2/1/2020).
Tugas bagi Dewas diatur dalam Pasal 37B UU No 19/2019. Pasal 37B Ayat (1b) menyebutkan, Dewas bertugas memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Adapun Ayat (1c) menyebutkan, Dewas bertugas menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.
Untuk itu, lanjut Zaenur, pola hubungan kerja antara Dewas dan pimpinan KPK harus diatur dengan jelas. Sebab, kedua unsur ini memiliki kewenangan yang saling berkaitan, yakni izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
”Jangan sampai menghambat pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Pola hubungan kerja antara Dewas dan pimpinan KPK harus diatur dengan jelas. Kedua unsur ini memiliki kewenangan yang saling berkaitan, yakni izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Hasil kajian KPK yang menemukan ada 26 poin pelemahan dalam UU No 19/2019, salah satunya memang terkait dengan panjangnya proses untuk melakukan kegiatan tangkap tangan. Sebab, penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap penuntutan dan lebih sulit karena ada lapis birokrasi.
Setidaknya ada enam tahap yang harus dilalui untuk melakukan penyadapan. Dari penyelidik yang menangani perkara ke kepala satuan tugas, kemudian ke direktur penyelidikan, lalu ke deputi bidang penindakan. Setelah itu ke pimpinan lalu ke Dewas dan masih perlu dilakukan gelar perkara terlebih dahulu.
Anggota Dewas, Harjono, menyampaikan, pada hari pertama kerja, Dewas akan menyiapkan rencana kerja terlebih dahulu. Ia pun mengusulkan kepada anggota Dewas lainnya untuk menyisir UU No 19/2019 mengenai apa saja yang menjadi kewajiban bagi Dewas.
”Salah satunya, kan, membuat kode etik. Nanti kami siapkan pembahasannya, tentu tidak bisa sehari selesai, perlu banyak waktu untuk menyusun aturan kode etik,” ujar Harjono.
Selain bagi pimpinan dan pegawai KPK, kode etik juga penting bagi Dewas. Meski tidak diatur secara eksplisit dalam UU No 19/2019, Harjono mengatakan, Dewas juga harus memiliki kode etik. ”Ya, soal materi (kode etik) hampir sama, tetapi bisa diatur dalam wadah yang berbeda,” ucapnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai, penyusunan kode etik menjadi harapan penting dalam menjaga KPK. Jika hanya bergantung pada orang-orang tanpa membangun sistem yang baik, ke depan akan menjadi masalah serius karena Dewas mengendalikan banyak kewenangan penindakan di KPK.
”Saat ini dengan sistem yang baru, harus tercapai sepakat dari 10 orang, 5 pimpinan KPK dan 5 Dewas, belum lagi tahapan-tahapan dalam proses penegakan hukum di KPK yang punya layer dan harus dilalui terlebih dahulu sebelum perkara bisa ditangani. Jelas itu akan membuat repot dan masalah,” ujar Feri.