Perpres terkait tata kerja pimpinan KPK sedang disiapkan. Masyarakat sipil mendorong perpres itu disusun dengan dengan mendengar masukan pemangku kepentingan terkait.
Oleh
Riana A Ibrahim dan Anita Yossihara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perumusan pengelolaan organisasi dan tata kerja pimpinan dan organ pelaksana pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi haruslah dilakukan secara inklusif dengan mendengar masukan berbagai pemangku kepentingan. Hal ini dibutuhkan agar pengaturan itu bisa sesuai dengan konteks tantangan korupsi di Indonesia.
Tata kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu akan diatur dalam peraturan presiden (perpres), sebagai turunan UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK, yang merupakan hasil revisi UU No 30/2002 tentang KPK.
Sepekan terakhir, draf Perpres tentang Organisasi dan Tata Kerja Pimpinan dan Organ Pelaksana Pimpinan KPK tanpa nomor beredar di kalangan masyarakat sipil. Sebagian pasal di draf itu dinilai kontroversial dan bisa berdampak negatif pada sistem kelembagaan dan mekanisme kerja KPK ke depan.
Antara lain, pimpinan KPK diposisikan sebagai pejabat negara setingkat menteri yang berada di bawah dan bertangggung jawab kepada Presiden sebagai kepala negara. Muncul pula jabatan Inspektur Jenderal yang berwenang melakukan pengawasan. Padahal, KPK berdasarkan UU 19/2019 telah memiliki organ Dewan Pengawas dan mempunyai Direktorat Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango di Jakarta, Kamis (2/1/2020) enggan berkomentar. “Kurang pas kalau saya harus menanggapi yang masih dalam bentuk draf. Kalau perpres-nya sudah diberlakukan baru kita bisa bicara substansinya,” ujar Nawawi.
Hingga kemarin, belum ada tanggapan dari pihak Istana terkait draf itu. Namun, Jumat pekan lalu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan, Perpres KPK sudah dalam proses finalisasi. "Yang jelas dari Kemenkumham, dari Menpan-RB, sudah diajukan ke Presiden melalui kami, Mensesneg-Menseskab, lagi finalisasi," ujar Pramono di Istana Kepresidenan Bogor.
Pramono menjelaskan, setidaknya ada tiga perpres yang disiapkan, antara lain Perpres tentang Dewan Pengawas KPK, Perpres terkait organisasi KPK, serta Perpres yang mengatur perubahan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara. Semua perpres itu, kata dia, disiapkan untuk memperkuat, bukan melemahkan KPK.
Proses inklusif
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko berpendapat, pembahasan aturan semacam ini semestinya melibatkan lembaga yang bersangkutan dan juga masyarakat sipil.
“Tak pernah ada informasi resmi tentang draf itu, apalagi ada undangan untuk memberikan masukan. Ada kesan kuat pemerintah sengaja menghindari kritik dari masyarakat sipil,” kata Dadang.
Ia menambahkan, draf yang beredar itu menunjukkan niat untuk membuat KPK tidak lagi independen. Sebab, disebutkan pertanggungjawaban pimpinan KPK kini langsung ke Presiden dan posisinya setingkat dengan menteri. Hal ini, lanjut dia, tidak kompatibel dengan problem korupsi di Indonesia.
“Untuk tingkat korupsi seperti di Indonesia di mana korupsinya yang mengakar di semua cabang kekuasaan, badan anti korupsi yang independen menjadi pilihan yang tepat. Bahkan di negara terbersih pun, badan antikorupsinya independen dan tetap memiliki kewenangan penindakan selain pencegahan,” tutur Dadang.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menilai kehadiran unsur Inspektorat Jenderal dalam organisasi KPK juga tak tepat. “Tak ada dalam UU 30 Tahun 2002 dan UU 19 Tahun 2019 (pengaturan Inspektur Jenderal), apalagi sudah ada Dewan Pengawas," ujar Feri.