Berani Menghadapi Perubahan, Merebut Peluang di Era 4.0
Supaya Indonesia mampu mengambil manfaat dari perubahan era 4.0, perlu dibangun ekosistem yang memungkinkan tumbuhnya sosok-sosok inovatif, kreatif, dan mau beradaptasi dengan perubahan.
JAKARTA, KOMPAS - Orang-orang Indonesia yang berani menantang risiko menghadapi perubahan guna meraih kesempatan di era transisi Revolusi Industri 4.0 sudah bermunculan dalam ruang dan skala berbeda. Supaya Indonesia mampu mengambil manfaat dari perubahan era 4.0, perlu dibangun ekosistem yang memungkinkan tumbuhnya sosok-sosok inovatif, kreatif, dan mau beradaptasi dengan perubahan.
Di Austria, Yusak Susilo (43) berjibaku dengan penelitian digitalisasi dan otomasi sistem transportasi. Di Bandung, Hokky Situngkir (41) membangun Bandung Fei Institute (BFI), yang salah satunya menghasilkan fisika batik. Sementara Wafa Taftazani (28) ikut merintis peer to peer lending Modal Rakyat Indonesia menjangkau UMKM di penjuru Indonesia.
Ibu rumah tangga di Bali, Indria Trisni Puspita (42), mengembangkan pemasaran digital serta menyediakan wadah pelatihan bagi para perempuan. Buruh migran Indonesia di Hong Kong, Rofingatun Nissa (27), membangun situs hasil pelatihan coding sebagai sarana pemasaran kain tenun. Kini, ia dapat mempekerjakan lima orang.
Mereka hanya contoh sejumlah orang yang berinovasi di masa transisi dari Revolusi Industri 3.0 menuju Industri 4.0. Ke depan, tantangan bakal makin berat. Revolusi Industri 4.0 lebih dari sekadar digitalisasi dan internet (Industri 3.0) karena menghilangnya peran manusia di sebagian pekerjaan menyusul praktik otomasi dan kecerdasan buatan.
Inovasi antisipatif
Yusak Susilo sebagai peneliti sekaligus guru besar di University of Natural Resources and Life Sciences, Austria, menciptakan pengumpul data berbasis aplikasi sumber terbuka di telepon pintar yang bisa digunakan gratis, yakni MEILI. Peranti ini diimplementasikan sejumlah kota di dunia, misalnya Stockholm (Swedia), Geneva (Swiss), Sao Paulo (Brasil), dan Jakarta, untuk membantu pemangku kepentingan menentukan kebijakan transportasi.
Dia meyakini, inovasi tidak hanya untuk memecahkan masalah, tetapi menghasilkan sesuatu yang baru untuk mengantisipasi hal-hal yang akan muncul di masa mendatang.
Baca juga: Meluruhkan Keterbelahan, Menatap Era 4.0
“Horison waktu untuk pemikiran inovasi jauh lebih panjang dari hanya menyelesaikan masalah tertentu. Sebagai contoh, inovasi itu bukan cuma menyelesaikan masalah kemacetan lalu lintas tetapi bagaimana kita membuat kota kita menjadi kota masa depan yg berkelanjutan, inklusif, sehat, makmur, and penuh kegembiraan,” ujar Yusak yang sebelumnya menjadi guru besar bidang transportasi di KTH Royal Institute of Technology.
Salah satu keuntungan berkarya di Eropa, kata Yusak, ialah adanya kesadaran bahwa semua elemen negara perlu belajar dan bekerja sama sehingga tidak ada pihak yang lebih penting dari yang lain. Hubungan pemerintah, akademisi, dan industri saling terkait.
Dia mencontohkan, ketika di Swedia, periset berkerja sama dan didukung oleh perusahaan industri otomotif, Scania, dan perusahaan teknologi informasi, Ericcson. Lalu, di Austria, Yusak menerika dukungan dari Pemerintah Federal Austria.
”Tanpa ada triple helix integration itu, tidak akan ada inovasi,” kata laki-laki yang juga pernah menjadi guru besar bidang transportasi di KTH Royal Institute of Technology, Swedia, itu melalui surat elektronik, awal Januari 2020.
Di bidang berbeda, Hokky Situngkir melalui BFI melakukan riset lintas departemen, seperti sosiologi komputasi, ilmu kognitif, dan pemodelan sistem dinamik yang menghasilkan ratusan karya aplikatif. Termasuk di dalamnya adalah riset spesifik yang di antaranya bagi kepentingan sejumlah lembaga negara, pemerintahan daerah, dan perusahaan swasta.
Mulai 2011, BFI membentuk Perpustakaan Digital Budaya Indonesia yang mengumpulkan data-data budaya tradisi Indonesia secara partisipatif dalam format digital. BFI yang dipimpin Hokky merupakan pionir untuk sejumlah penggunaan sains dan teknologi mutakhir di kawasan Asia Tenggara.
Kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi di dalam negeri dan luar negeri yang berhubungan dengan analisis big data dilakukan BFI dengan perangkat pembelajaran mesin (machine learning) dan kecerdasan buatan. Misalnya yang berhubungan dengan data pergerakan saham dan data media sosial di dalam serta luar negeri.
BFI juga menghasilkan Fisika Batik dimana teknologi komputer dipakai menciptakan motif batik. Selain itu juga pohon kekerabatan batik, lagu tradisional, serta makanan dan minuman tradisional. BFI juga menghasilkan computer-aided system bagi para penenun dan penganyam tradisional.
Salah satu karya lain yang juga dihasilkan adalah Sarung #KodeNusantara berupa cerminan motif dari 34 provinsi. Motif tersebut dihasilkan lewat komputasi aplikasi Fisika Batik.
“Industri 4.0 itu jargon, yang menggambarkan perkembangan ilmu dan teknologi komputasi dan interkoneksi yang unsur-unsurnya adalah machine learning, artificial intelligence, big data analytics, internet of things, dan cybersecurity,” kata Hokky.
Bagi Hokky, Revolusi Industri 4.0 mesti dimanfaatkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Hal ini mensyaratkan masyarakat memacu diri dengan pengetahuan, keterampilan, dan kreativitas produktif.
Memanfaatkan teknologi digital, Wafa Taftazani bersama sejumlah rekannya menyalurkan pendanaan produktif hingga Rp 120 miliar kepada ribuan UMKM di seluruh Indonesia yang sulit menjangkau akses perbankan konvensional. Mereka memanfaatkan kecerdasan buatan untuk menganalisis skor kredit calon peminjam mikro sebagai bagian dari manajemen risiko.
Wafa menyarankan, apa pun dampak Industri 4.0 kelak, kemampuan menyelesaikan persoalan, berpikir kritis, manajemen pemangku kepentingan, kreativitas, serta kesediaan mendengarkan dan memahami bakal makin relevan. Dia mendorong masyarakat mengasah kemampuan tersebut, di samping kemampuan teknis.
Takut mendalami
Berdasarkan pengalaman pribadinya, Rofingatun Nissa mengatakan, banyak orang takut mendalami dunia digital yang jadi landasan awal menuju Industri 4.0 karena menganggap dunia itu rumit. Padahal, siapa pun bisa mendapatkan keuntungan di era digital.
Misalnya, Rofi berhasil memanfaatkan internet untuk memasarkan kain tenun dengan merek Oemah Ethnic. Dia menjajakan produknya hingga ke Jepang, Korea, Singapura, dan Taiwan. Awalnya, ia hanya menjadi reseller dari produk kain tenun asal Jepara, Jawa Tengah. Mula-mula banyak teman yang menitip produk kain itu, karena tertarik dengan motif dan pengerjaannya.
“Salah seorang teman kemudian menyarankan agar saya memulai bisnis saja karena kain tenun ini banyak yang suka. Akhirnya sejak 4 Januari 2019, saya membuka bisnis degan merek sendiri, Oemah Ethnic. Di Cilacap, bisnis saya ini memperkerjakan 5 orang. Saya memesan kain tenunnya dari Jepara, Sumba, NTT, lalu kami kerjakan dengan penjahit sendiri,” katanya, yang saat ini masih bekerja di Hong Kong. Rofi berencana pulang ke Tanah Air, tahun 2020, setelah enam tahun bekerja di Hong Kong.
Selama ini, dibantu dengan saudara dan pegawainya di Cilacap, Rofi memasarkan produknya melalui medsos berupa fanpage facebook, dan instagram. Ia juga membuka website sendiri yang dikelolanya setelah belajar dari program Coding Mum yang diadakan oleh Bekraf. Setiap bulannya Oemah Ethnic menerima puluhan pembeli, baik yang memesan melalui Rofi langsung maupun melalui reseller di Cilacap, atau dengan menghubungi kontak pemasaran di websitenya.
Indria Trisni Puspita yang kini membangun wadah bagi perempuan untuk belajar pemasaran digital mengatakan, dunia digital memperbesar potensi perempuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga. ”Untuk bisa mengerti dunia digital, sekarang bisa belajar di mana saja dan banyak orang mau membagi pengalamannya. Sekarang kuncinya ialah kemauan belajar,” katanya.
Pengalamannya belajar otodidak dengan memanfaatkan fanpage facebook, tahun 2008, membekalinya dengan pengetahuan soal potensi medsos sebagai sarana pemasaran produk. Saat itu, ia menawarkan jasa les atau bimbingan belajar matematika. Melalui fanpage medsos itu, Indria mendapatkan murid. Tahun 2010, ia kembali membuat fanpage. Kali ini untuk memasarkan produk pelindung jok mobil buatannya sendiri. Dua usahanya itu terbukti mendatangkan penghasilan tambahan untuk keluarga, tanpa perlu menghabiskan waktu di luar rumah.
“Era digital sebagai era disrupsi itu memang benar, tetapi hanya berlaku bagi mereka yang tidak mau bergerak atau mengikuti dunia digital. Kalau kita mau melihat sisi positifnya, era digital selain menimbulkan disrupsi, juga memberikan peluang, terutama bagi bergerak mengejar ketertinggalan, dan menggeser bisnis konvensionalnya ke bisnis digital,” kata Indria.
Untuk memfasilitasi inovasi, pendiri Rumah Perubahan, Rhenald Kasali, menuturkan, pemerintah, industri, dan akademisi perlu berkolaborasi menciptakan ekosistem ramah inovasi.
Berbagai kebutuhan perlu disiapkan, seperti perspektif dunia pendidikan untuk berpola pikir inovatif dan penguatan sumber daya manusia bertalenta digital. Selain itu, iklim dan aturan harus menunjang perusahaan rintisan serta dunia industri perlu memberi perhatian besar pada pengembangan riset dan inovasi.
Pemerintah, menurut Elwin Tobing, Presiden Inadata Consulting, California, AS, tak bisa berpikir bahwa mereka ialah solusi tunggal dan pencipta perubahan. Pemerintah harus menempatkan diri sebagai fasilitator perubahan. Hal ini diperlukan agar pemerintah lebih banyak mendorong swasta berkembang dengan baik.
Selain itu, mantan pengajar ekonomi di Azusa Pacific University, AS, itu juga menilai, perlu ada satu pola pikir yang sama dari generasi tua yang umumnya berada di unsur pemerintah dan bisnis serta generasi muda yang menjadi pembawa inovasi.
”Generasi tua dan generasi muda harus berada dalam prinsip yang sama, yakni memandang perubahan itu, yang pada dasarnya demi efisiensi, adalah keniscayaan dan harus disikapi positif,” kata Elwin.
Selain itu, kata dia, dunia industri harus beroperasi dengan dasar dan budaya inovasi, sehingga pola pikir dunia usaha bukan lagi untuk berburu rente atau mencari proteksi tertentu. Sebab, di era industri 4.0, inovasi yang dapat memenangkan pelaku industri dalam kompetisi. Namun, inovasi memerlukan modal dan usaha yang disebut research and development (R&D) serta human capital.
Menurut Elwin, partisipasi dunia usaha Indonesia dalam R&D masih sangat minim. Dalam kurun waktu 201-2015, biaya R&D Indonesia yang disumbangkan dunia industri hanya 26 persen. Jumlah partisipasi yang kecil dibandingkan di negara lain, seperti China yang mencapai 76 persen, Korea Selatan 77 persen, dan Malaysia 57 persen.
Sementara itu, di bidang akademisi, Elwin menilai, perguruan tinggi di Indonesia harus memosisikan diri sebagai agen utama kegiatan R&D yang membantu penciptaan atau adopsi inovasi.
“Pemerintah, swasta, masyarakat, maupun pendidikan tinggi harus berpikir bahwa kita harus berproduksi melalui inovasi-inovasi. Jadi, industri 4.0 bisa dimulai dengan perubahan mindset itu,” ujar Elwin.
(Rini Kustiasih/M Zaid Wahyudi)