Penunjukan Langsung dalam Proyek Semi-BHS PT Angkasa Pura II Bermasalah
Hakim mempertanyakan pengerjaan proyek yang dilakukan melalui mekanisme penunjukan langsung dari PT Angkasa Pura II yang tak sesuai dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor 15 Tahun 2012.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penunjukan langsung dalam proyek pengadaan semi-baggage handling system pada enam bandara oleh PT Angkasa Pura II dinilai tak sesuai ketentuan. Dimulai ketika PT Angkasa Pura II menunjuk langsung anak perusahaannya, PT Angkasa Pura Propertindo. Begitu pula saat penunjukan PT Industri Telekomunikasi Indonesia oleh PT Angkasa Pura Propertinto.
Hal itu disampaikan anggota Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi, Sukartono, dalam sidang pemeriksaan saksi dugaan korupsi pengadaan semi-baggage handling system (BHS) pada enam bandara dengan terdakwa eks Direktur Utama PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) Darman Mappangara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (13/1/2020).
Majelis memeriksa empat saksi terkait, yaitu Presiden Direktur PT Angkasa Pura II Muhammad Awaluddin, Direktur Operasi dan Pelayanan PT Angkasa Pura II Ituk Herarindri, Direktur Bisnis PT INTI Teguh Adi Suryandono, serta bekas Kepala Strategic Business Unit Bidang Device and Digital Service PT INTI Andi Nugroho.
Korupsi proyek pengadaan semi-BHS itu bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Andra Agussalam, 31 Juli 2019, yang saat OTT masih menjabat Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II. Andra menerima suap dari Direktur Utama PT INTI Darman Mappangara dan mantan anggota staf PT INTI sekaligus teman dekat Darman, Andi Taswin Nur.
Saat ini, baik Andra maupun Darman sudah menjadi terdakwa, sedangkan Taswin telah dijatuhi vonis 1 tahun 4 bulan penjara.
Sukartono menjelaskan, pengerjaan proyek yang dilakukan melalui mekanisme penunjukan langsung dari PT Angkasa Pura II terhadap anak perusahaannya, PT Angkasa Pura Propertindo (APP), itu tak sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Permen BUMN Nomor Per-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN.
”Mengapa harus penunjukan langsung, apa tidak menyalahi Permen BUMN No 5/2008 yang diperbarui dengan Permen BUMN No 15/2012? (Aturan) itu, kan, harus diikuti karena (proyek) menggunakan uang negara,” kata Sukartono.
Dalam Pasal 9 Ayat (2) Permen BUMN No 15/2002, penunjukan langsung hanya bisa dilakukan sepanjang direksi terlebih dulu merumuskan ketentuan internal dan kriteria yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 dan Pasal 3 dengan memperhatikan ketentuan pada Pasal 9 Ayat (3).
Adapun pada Pasal 9 Ayat (3) Permen BUMN No 15/2002, terdapat 11 syarat penunjukan langsung. Di antaranya barang dan jasa yang dibutuhkan bagi kinerja utama perusahaan dan tidak dapat ditunda keberadaannya, penyedia barang dan jasa hanya satu-satunya (barang spesifik), serta barang dan jasa yang dimiliki pemegang hak atas kekayaan intelektual (HAKI) atau yang memiliki jaminan dari original equipment manufacture.
Selain itu, penunjukan langsung bisa dilakukan apabila penyedia barang dan jasa adalah BUMN, anak perusahaan BUMN, atau perusahaan terafiliasi BUMN. Sepanjang barang dan jasa yang dimaksud merupakan produk atau layanan dari BUMN, anak perusahaan BUMN, perusahaan terafiliasi BUMN, dan/atau usaha kecil dan mikro, sepanjang kualitas harga dan tujuannya dapat dipertanggungjawabkan serta dimungkinkan dalam peraturan sektoral.
Menurut Sukartono, penunjukan langsung tidak sepenuhnya dilakukan sesuai norma yang ada dalam peraturan tersebut.
Namun, Muhammad Awaluddin berulang kali menjawab tidak tahu-menahu mengenai proyek semi-BHS tersebut. Menurut dia, keputusan penunjukan langsung dibuat pada rapat pimpinan PT Angkasa Pura II pada 21 Juni 2018. Akan tetapi, ia tidak ada dalam rapat itu.
”Saya tidak tahu secara spesifik. Ada lebih dari 300 program (yang diajukan) saat itu,” ujar dia.
Sementara itu, Ituk Herarindri mengatakan, penunjukan langsung didasarkan pada status PT APP sebagai anak perusahaan. Keputusan itu juga diambil agar proyek bisa segera berjalan karena ada batas waktu pengerjaan proyek dari pemerintah, yaitu satu tahun.
Namun, bagi Sukartono, pertimbangan itu saja tidak cukup. Harus ada alasan mendasar lainnya. Apalagi, dalam persidangan sebelumnya, Direktur Teknik PT Angkasa Pura II Djoko Murjatmodjo mengatakan, hal itu dilakukan demi membesarkan anak perusahaan.
”Misalnya, perusahaan itu memiliki HAKI karena merupakan satu-satunya yang bisa mengerjakan proyek tersebut,” katanya.
Urusan penunjukan semakin bermasalah ketika PT APP mendelegasikan tugas pengadaan semi-BHS kepada PT INTI, BUMN yang fokus usahanya telekomunikasi dan teknologi informasi. Kemudian PT INTI pun membagi sebagian tugasnya kepada PT Berkat yang merupakan pemasok peralatan terkait semi-BHS.
”Pekerjaan ini sampai ke begitu banyak tangan, apakah tidak membuang-buang uang negara? Coba baca lagi Permen BUMN No 15/2012 itu, penunjukan langsung itu tidak sesuai aturan karena melanggar prinsip untuk tidak memonopoli,” ujar Sukartono.
Suap
Selain kejanggalan pendelegasian pekerjaan, proyek semi-BHS ini juga diwarnai suap. Darman dan Taswin, disebut jaksa penuntut umum, menyuap Andra Rp 1,99 miliar dalam bentuk uang 71.000 dollar AS dan 96.700 dollar Singapura agar PT Inti mendapatkan pekerjaan tersebut.
PT Inti membutuhkan proyek tersebut untuk memperbaiki keuangan perusahaan. Perusahaan berutang sejumlah dana untuk biaya operasional selama beberapa waktu belakangan. Selain itu, sebagian uang disebut juga untuk membayar utang pribadi Darman kepada Andra.
Untuk membayar utang PT INTI tersebut, Darman diduga meminjam uang ke sejumlah pihak. Penghimpunan dana dikoordinasikan Taswin. Salah satu yang meminjamkan adalah Andra. Ia bersedia meminjamkan karena PT INTI merupakan perusahaan yang akan mengerjakan proyek semi-BHS.
Teguh Adi Suryandono mengatakan, kondisi keuangan PT INTI memang tak sehat. Saat ini, utang perusahaan mencapai 12 kali lipat modal yang dimiliki. ”Ekuitas kami saat ini Rp 200 miliar saja,” kata Teguh.
Suap juga diduga memengaruhi penunjukan PT INTI. Sebab, sejumlah pertemuan antara PT Angkasa Pura II, PT APP, dan PT INTI sudah berlangsung sejak 2018 sekalipun kesepakatan pendelegasian pekerjaan baru sah pada Januari 2019.
Andi Nugroho membenarkan, sejumlah pertemuan itu pernah dilakukan, di antaranya di sebuah hotel dan Plaza Senayan. Namun, konten pertemuan tidak spesifik terkait dengan proyek semi-BHS, tetapi kerja sama antara PT APP dan PT INTI sebagai sesama BUMN.