Izin menggeledah dari Dewan Pengawas KPK disebut-sebut jadi salah satu hal yang menyebabkan jeda penggeledahan kasus dugaan suap dengan penetapan tersangka. Namun,kendali tak sepenuhnya ada pada Dewan Pengawas.
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
Komisi Pemberantasan Korupsi di era pimpinan jilid V tengah diuji independensi dan integritasnya. Belakangan, di ruang publik, muncul tanda tanya soal jeda yang cukup lama antara penetapan tersangka dan penggeledahan terkait dugaan suap yang melibatkan anggota Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan. Mekanisme izin untuk menggeledah dan menyita dari Dewan Pengawas KPK disebut-sebut menjadi salah satu persoalan, meski tak sepenuhnya kendali berada pada Dewan Pengawas.
KPK telah memulai penggeledahan dan penyitaan pada Senin (13/1/2020). Sejumlah dokumen yang berkaitan dengan perkara telah diambil dari beberapa lokasi yang dilakukan geledah selama dua hari terakhir. Adapun lokasi yang sudah digeledah adalah ruang kerja Wahyu di KPU, rumah dinas Wahyu, dan apartemen Harun Masiku.
“Untuk hari ini, ada penggeledahan yang kembali dilakukan. Untuk lokasinya akan diinfokan setelah tim selesai,” ujar Ali, Rabu (15/1).
Namun, penggeledahan itu berlangsung dengan jeda beberapa hari setelah penangkapan. Anggota KPU Wahyu Setiawan ditangkap penyidik KPK saat berada di dalam pesawat menuju ke Belitung pada Rabu (8/1). Dia ditangkap atas dugaan menerima suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) Dewan Perwakilan Rakyat RI daerah pemilihan Sumatera Selatan I, dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
Selain Wahyu, orang kepercayaannya yang merupakan bekas caleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang juga bekas anggota Badan Pengawas Pemilu, Agustiani Tio Fredelina dan Saeful Bahri, staf dari Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto juga ditangkap. Selain ketiganya, caleg dari PDI-P untuk daerah pemilihan Sumatera Selatan I Harun Masiku juga dicari. Pada Kamis (9/1), KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka. Wahyu dan Agustiani disangkakan menerima suap, sedangkan Harun dan Saeful disangkakan sebagai pemberi suap.
Pada Kamis (9/1) ruang Hasto di Kantor DPP PDI-P hendak disegel tapi gagal dilakukan tim KPK karena tak diperkenankan pihak pengamanan. Sementara itu, pihak DPP PDI-P menyatakan hal itu disebabkan karena tim KPK yang tidak sesuai prosedur.
Lazimnya, ruang yang hendak disegel ini menjadi salah satu target dari penggeledahan dan penyitaan untuk mengumpulkan barang bukti. Penyegelan dilakukan agar tidak ada lagi pihak selain KPK yang dapat keluar masuk lagi ke ruangan tersebut sebelum proses geledah dan sita digelar.
Sementara itu, izin geledah dan sita yang kini memakan birokrasi panjang ini baru diajukan oleh Pimpinan KPK kepada Dewan Pengawas pada Jumat (10/1) sore dan langsung disetujui oleh lima anggota Dewan Pengawas di hari yang sama. Padahal sejak Kamis pagi hingga Jumat siang, Dewan Pengawas telah menunggu masuknya izin geledah dan sita untuk kasus dugaan suap terhadap Komisioner KPU ini.
Kondisi berbeda pada kasus suap Bupati Sidoarjo yang terjadi sebelumnya. Saiful ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu, tepat sehari setelah dia ditangkap. Izin geledah dan sitanya pun segera diajukan dan dikeluarkan izin di hari yang sama oleh Dewan Pengawas. Meski proses geledahnya sendiri baru dimulai pada Jumat pagi.
“Saya jamin kalau sudah masuk di sini dalam 1X24 jam bahkan lebih cepat sudah harus ada keputusan yakni diberikan izin atau tidak. Kami tidak ada alasan untuk menghambat penanganan perkara korupsi. Prinsipnya, saat sampai di Dewan Pengawas langsung diproses,” kata Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak H Panggabean di Gedung KPK C1, Jakarta, Selasa.
Sebelum UU KPK direvisi, penyidik hanya perlu mendapat persetujuan pimpinan untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan. Biasanya setelah operasi tangkap tangan dan penetapan tersangka, penyidik langsung menggelar penggeledahan dan penyitaan keesokan harinya.
Apabila merujuk pada kasus suap Bupati Sidoarjo yang izin geledah dan sitanya langsung dikeluarkan bersamaan dengan keluarnya surat perintah penyidikan sehari setelah operasi tangkap tangan, penyidik dapat langsung menggelar penggeledahan dan penyitaan keesokan harinya seperti yang umumnya dilakukan saat masih bekerja dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Semuanya sesuai prosedur yang ada. Tak ada yang lambat. Ini strategi penyidikan saja
Namun, berdasarkan informasi dari Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, penggeledahan dan penyitaan pada kasus suap Bupati Sidoarjo baru dilaksanakan pada Jumat (10/1) meski izin keluar pada Rabu (8/1). Lantas mengapa pada kasus suap anggota KPU Wahyu Setiawan, pengajuan izin dan tindakan penggeledahan dan penyitaan memakan waktu lebih lama?
"Semuanya sesuai prosedur yang ada. Tak ada yang lambat. Ini strategi penyidikan saja," ujar Ali.
Di luar jangkauan
Tumpak menyampaikan, lamanya pengajuan izin kepada Dewan Pengawas di luar jangkauannya. Alur prosesnya, lanjut dia, berasal dari penyidik, naik ke direktur dan deputi, lalu disetujui pimpinan KPK.
“Dari pimpinan kemudian nanti dibuatkan surat ke Dewan Pengawas. Kalau sudah sampai di sini, catat ya 1X24 jam bahkan sebelum itu sudah ada putusan akan diberi izin atau tidak. Secepat mungkin,” ungkap Tumpak.
Namun, tak menutup kemungkinan, Dewan Pengawas KPK akan melakukan pelacakan dan pemeriksaan jika ada laporan dan dugaan pegawai atau bahkan pimpinan yang melanggar ketentuan dalam melaksanan tugas dan kinerjanya, termasuk melanggar kode etik. Akan tetapi, untuk teknis penanganan perkaranya Dewan Pengawas tidak bisa masuk.
“Kalau menyangkut pegawai dan pimpinan KPK, ada prosesnya. Kami akan mencari informasi tentang itu. Ada namanya tracking dan pengawasan internal. Nanti kalau diperoleh informasi itu dan kita kaji. Selama belum ada kode etik baru, tentu kode etik yang lama digunakan dulu,” ungkap Tumpak.
Salah satu tugas Dewan Pengawas merujuk pada Pasal 37 B UU No 19/2019 adalah mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Kemudian, menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK atau pelanggaran ketentuan dalam UU ini. Dewan Pengawas juga berhak melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK.
Untuk hal ini, Dewan Pengawas berencana melakukan evaluasi tiap 3 bulan sekali diikuti assessment dari hasil evaluasi.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari berpendapat, jeda waktu penggeledahan dan penyitaan yang cukup lama dari penangkapan berpotensi menghilangkan barang bukti. Dengan hilangnya barang bukti, dapat berdampak pada proses penanganan perkara yang sedang berjalan atau yang hendak dikembangkan.
“Kejahatan yang tadinya disangkakan bisa tidak terbukti. Apalagi untuk kasus korupsi yang merupakan extraordinary crime, harusnya penanganannya juga extraordinary. Pembuktiannya tidak mudah, jika dengan cara seperti ini dan barang bukti hilang maka ke depannya penanganannya juga akan terkena imbas,” kata Feri.