Pemerintah RI Tingkatkan Volume Patroli di Natuna Utara
Pemerintah Indonesia berkomitmen meningkatkan patroli pengamanan laut perbatasan yang melibatkan seluruh kementerian/lembaga terkait. Namun, hal ini juga perlu didukung sinkron-nya pernyataan para pejabat Indonesia.
NATUNA, KOMPAS - Untuk menjaga hak berdaulat di kawasan Laut Natuna Utara, pemerintah Indonesia berkomitmen meningkatkan patroli pengamanan laut perbatasan yang melibatkan seluruh kementerian/lembaga terkait. Di sisi lain, program pengelolaan wilayah perairan Natuna juga akan ditingkatkan dengan mendasari kebutuhan masyarakat setempat.
Pada Rabu (15/1/2020), Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD melakukan perjalanan sekitar tiga jam di Selat Lampa, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Dengan menggunakan KRI Semarang-594, Mahfud mengecek kesiapan sejumlah kapal patroli milik Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut, Badan Keamanan Laut, dan Kepolisian Negara RI yang bertugas menjaga kawasan laut perbatasan di Natuna.
Selain itu, Mahfud juga melakukan rapat koordinasi di atas KRI Semarang-594. Rapat itu dihadiri Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto, Pelaksanan Tugas Gubernur Riau Isdianto, Bupati Natuna Abdul Hamid Rizal, serta Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I Laksamana Madya Yudo Margono.
Seusai rapat itu, Mahfud mengatakan, kehadirannya di Natuna untuk mempertegas komitmen Presiden Joko Widodo untuk menjaga hak berdaulat Indonesia di Laut Natuna Utara. Menurut dia, selama Rabu ini, kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna telah bebas dari kapal milik China, baik kapal penjaga pantai maupun kapal nelayan.
"Secara umum kondisi Laut Natuna Utara sudah aman. Kapal China sudah di luar ZEE artinya sudah di luar Natuna, mudah-mudahan terus aman. Kita akan terus meningkatkan volume patroli," ujar Mahfud.
Patroli, tambah Mahfud, tidak hanya dilakukan melalui jalur laut tetapi juga melalui jalur udara. Mahfud menekankan, strategi pengamanan di Natuna mengedepankan penguatan koordinasi antara tujuh kementerian/lembaga yang berwenang dalam pengamanan laut. Hal itu dimaksudkan untuk mengoptimalkan dan mengefektifkan patroli di kawasan perbatasan.
Kekayaan sumber daya
Selain dari sisi keamanan, Mahfud menambahkan, pemerintah juga akan memperkuat koordinasi antara pusat dan daerah untuk mengelola kekayaan sumber daya alam Natuna yang tanpa merusak ekosistem.
Ia menambahkan, pemerintah pusat akan membantu pemerintah daerah untuk membangun banyak sentra-sentra ekonomi di kawasan Natuna. Program itu, lanjutnya, akan dilakukan dengan memperbanyak nelayan dan kapal ikan yang melaut di Natuna. Namun, ia menegaskan, pemanfaatan kekayaan laut Natuna akan diprioritaskan kepada nelayan setempat di Natuna.
"Jangan sampai ada salah paham kalau kita mau bawa nelayan dari luar Natuna, tetapi mengesampingkan nelayan lokal. Atas dasar itu, pemerintah akan berkoordinasi dengan kepala daerah untuk menginvetarisir kebutuhan nelayan Natuna," katanya.
Edhy menyatakan, pihaknya akan mengoptimalkan bantuan kepada nelayan Natuna. Utamanya, untuk menyesuaikan kebutuhan dan keinginan nelayan setempat. Sebagai contoh, lanjut Edhy, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyalurkan 70 kapal bantuan untuk nelayan Natuna. Tetapi kapal.itu ternyata tidak sesuai kebutuhan nelayan. Sebab, nelayan Natuna menginginkan kapal kayu, sedangkan kapal yang djberikan berbahan fiber.
"Kita akan perbaiki sesuai harapan nelayan. Oleh karena itu, kita akan lebih melibatkan pemerintah daerah untuk mengatasi sejumlah kekurangan yang menjadi kendala nelayan Natuna selama ini," tutur Edhy.
Selain kebutuhan nelayan untuk melaut, KKP juga akan memperbaiki akses nelayan terhadal bahan bakar dan air bersih. Selain itu, layanan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu di Natuna juga akan dioperasikan secara maksimal.
Beda pernyataan
Hanya saja, di tengah ketegasan komitmen pemerintah itu juga masih ada pernyataan para Menteri Kabinet Indonesia Maju yang berbeda-beda tone-nya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, misalnya, sempat membantah adanya kapal nelayan China di Laut Natuna Utara. Kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/1), dia mempertanyakan dan menantang pihak-pihak yang mengatakan ada kapal nelayan China untuk menunjukkannya.
"Kalau kita melihat nelayan China yang eksploitasi, kata orang, itu di mana? Karena kita, waktu nangkap tanggal 30 (Desember) itu, yang kita temukan tiga kapal Vietnam. Kita mau tahu di mana, kasih tahu kita. Kalau memang ada yang melihat di peta, tunjukkan di mana, biar kita bisa datangi," tutur Edhy.
Tim Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) memang menangkap tiga kapal Vietnam akhir Desember 2019. Kapal-kapal tersebut berukuran 98 Gross Ton dan 125 GT serta berawak 36 orang secara keseluruhan.
"Kalau ada (kapal nelayan China), sudah kita tangkap. Kan enggak ada. Yang kita sisir enggak ada kapal (nelayan) China. Coast guard-nya ada tapi apa keliatan kapal (nelayan) china? Yang mana? Anda bisa bedakan kapal China dengan kapal Vietnam," tutur Edhy.
Edhy menilai ada yang bermain dan memperkeruh suasana. Dia juga mengklaim sudah mengecek kepada warga yang menggunggah video berisi kapal-kapal nelayan China. Namun, tidak ada yang bisa membuktikan. Edhy juga menilai adanya laporan penggunaan pukat harimau tak masuk akal.
"Katanya dia lihat di sana kapal asing pakai trawl mengeruk karang. Anda tahu karang di permukaan itu kelihatannya kecil tapi di bawahnya besar. Siapa yang mau alat pukatnya narik karang? Bahkan kapalnya bisa tenggelam gara-gara karang itu," tuturnya.
Sebelumnya, Kepala Bakamla Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrohman mengatakan kepada KompasTV bahwa kapal-kapal asing masuk pada 19 Desember 2019. Setelah diusir, pada 24 Desember, kapal-kapal itu kembali dengan perkuatan. Bakamla berkoordinasi dengan Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan serta tak lama kemudian, Menteri Luar Negeri pun memanggil Duta Besar China di Jakarta.
KompasTV pada awal Januari 2020 juga menayangkan rekaman saat KRI Tjiptadi-381 mengusir kapal nelayan China yang dikawal kapal penjaga pantainya. Di lambung kapal putih tersebut, tampak tulisan China Coast Guard.
Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I Laksamana Madya Yudo Margono mengatakan, dalam perjalanan ke Natuna dengan TNI, memantau 30 kapal nelayan China dengan dikawal kapal penjaga pantainya di ZEE Indonesia dan Malaysia.
Baca juga: Kapal China Masih Bertahan di Natuna Jelang Kunjungan Presiden
"Tadi kita lihat sendiri ada kapal coast guard China sedang mengawal kapal nelayan China sekitar 130 mil timur laut dari Lanud Ranai, Natuna," tutur Yudo (Kompas.id, Jumat 3 Januari 2020).
Wilayah perairan yang termasuk ZEE Indonesia itu diklaim Cina sepihak sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional dalam zona sembilan garis putus (nine dash line). Namun, hal ini tidak sesuai dengan konvensi PBB tentang hukum laut atau UNCLOS.
"Di ujungnya saya kira kita akan dapat solusi yang baik. Bagaimanapun China adalah sahabat. Kita cool saja, santai," tutur Menteri Pertahanan Prabowo Subianto seusai rapat di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi 3 Januari lalu.
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan malah mengatakan Pemerintah Indonesia harus mengapresiasi karena China sudah mengurangi jumlah nelayannya yang datang ke Natuna.
"Mereka sudah mengurangi jumlah nelayan mereka juga yang datang ke sana. Kita harus apresiasi juga. Jadi tidak ada keinginan mereka untuk berkelahi soal itu. Kalau ada pelanggaran, itu pasti saja ada," tutur Luhut kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/1/2020).
Sikap lebih tegas ditampilkan menteri-menteri lain seperti Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Senin (6/1/2020), Mahfud menegaskan tidak ada diplomasi untuk Natuna. Patroli juga dibuat lebih proporsional. Retno menegaskan, hak berdaulat Indonesia di ZEE tak bisa diganggu gugat.
"Terkait nine dash line yang diklaim Tiongkok, sampai kapan pun juga Indonesia tidak akan mengakui dan apa yang disampaikan Pak Presiden bahwa itu bukan hal yang harus dikompromikan karena sudah jelas hak berdaulat kita sudah jelas," ujar Menlu Retno Marsudi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2020).
Secara terpisah, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana berharap tak terlampau banyak hiruk-pikuk di internal pemerintah. Sebab, kata dia, kehadiran Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja ke Pulau Natuna pada 8 Januari 2020 tak cukup. Kendari secara simbolik menunjukkan kehadiran negara, tapi tanpa tindakan lanjutan yang konsisten, hal ini tak berarti.
Karenanya, Indonesia perlu menunjukkan kehadiran secara fisik. Para nelayan Indonesia perlu mencari ikan di perairan Natuna Utara. Perusahaan-perusahaan Indonesia juga bisa melakukan ekplorasi dan eksploitasi di landas kontinen.
Patroli penegakan hukum oleh Bakamla, KKP, TNI AL dan Kepolisian juga perlu ditingkatkan untuk menangkapi nelayan-nelayan asing termasuk dari China. Patroli ini sekaligus melindungi nelayan Indonesia dan perusahaan yang melakukan eksploitasi sumber daya alam di landas kontinen.
Di sisi lain, tambah Hikmahanto, pemerintah perlu melakukan backdoor diplomacy. Diplomasi model ini dapat dilakukan dengan menunjuk tokoh yang dapat memengaruhi kebijakan suatu negara. Adapun, pesan yang disampaikan adalah sentimen anti-China dari publik Indonesia akan bangkit bila nelayan-nelayan China terus berdatangan ke Laut Natuna Utara.
Kepentingan China di Indonesia akan terganggu bila hal ini tak terbendung. Apalagi, Pemerintah Indonesia juga akan menindak tegas pengambilan ikan secara illegal, sesuai tuntutan masyarakat dan bisa saja dibalas Pemerintah China. Akhirnya persahabatan kedua negara ikut terganggu.
Terus koordinasi
Menghadapi situasi ini, KKP, menurut Edhy, tetap berkoordinasi dengan TNI AL, TNI AU, Kepolisian Negara RI, dan Bakamla. Edhy berharap tak ada yang mencari siapa yang salah melainkan bekerja sama menjaga Indonesia.
Di sisi lain, untuk memperkuat nelayan-nelayan Natuna, pemerintah akan menghitung kebutuhan kapal bantuan pemerintah. Pengadaan kapal sebelum ini oleh pemerintah, berupa kapal fiber, tak cocok untuk nelayan di Natuna.
Selain itu, Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) yang sudah ada di Natuna harus dioptimalkan. Saat ini, bahan bakar minyak tak siap. Persediaan air bersih juga kurang. Semua kendala ini akan dievaluasi supaya bisa diperbaiki. Edhy juga meminta supaya perhatian tak hanya pada Natuna, salah satu wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dari sebelas WPP yang ada.
"Natuna ini termasuk paling kecil potensi ikannya dibandingkan daerah lain. Makanya saya lapor ke beliau (Presiden Joko Widodo) juga, kami akan focus di ZEE yang lain," tambahnya seusai menghadap Presiden di Istana Merdeka, Jakarta.