Putusan Praperadilan Nurhadi Jadi Ujian Independensi Lembaga Peradilan
Selasa (21/1/2020) besok, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan membacakan putusan praperadilan Nurhadi, Sekretaris Mahkamah Agung 2011-2016, yang jadi tersangka kasus dugaan suap dalam pengurusan perkara di MA.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selasa (21/1/2020) besok, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan membacakan putusan praperadilan Nurhadi, Sekretaris Mahkamah Agung 2011-2016 yang jadi tersangka kasus dugaan suap dalam pengurusan perkara di Mahkamah Agung. Komisi Pemberantasan Korupsi menilai, putusan akan menjadi ujian independensi bagi lembaga peradilan.
”Putusan hakim ini akan menjadi ujian independensi bagi peradilan dalam memutus perkara secara adil dan transparan mengingat pemohon, NH (Nurhadi), ditetapkan sebagai tersangka dalam jabatan sebagai Sekretaris Mahkamah Agung dan kuatnya stigma di masyarakat mengenai masih adanya mafia kasus dan mafia peradilan,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri melalui keterangan resmi kepada Kompas, Senin.
Putusan juga dinilai akan menjadi pembuktian untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik terhadap dunia peradilan yang saat ini sedang dibangun kembali oleh Mahkamah Agung (MA).
”Harapannya, para pencari keadilan masih dapat merasakan secara nyata bahwa keadilan dapat ditemukan di ruang-ruang pengadilan,” ujarnya.
Dalam kasus ini, Nurhadi diduga menerima suap melalui tersangka Rezky Herbiono, pengusaha yang juga menantu Nurhadi. Suap diterima dalam bentuk sembilan lembar cek dari tersangka Hiendra Soenjoto, Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), untuk mengurus perkara perdata PT MIT yang menggugat PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero).
Ali Fikri melanjutkan, KPK meyakini proses penyelidikan dan penyidikan terhadap Nurhadi telah dilakukan secara sah berdasarkan hukum.
Dalam kesimpulan yang dibacakan pada Jumat (17/1/2020), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, KPK menyebutkan, semua dalil yang dijadikan alasan para pemohon praperadilan tidak benar dan keliru. Selama sidang praperadilan, KPK juga telah mengajukan bukti dan ahli yang memiliki kredibilitas di bidang hukum administrasi dan hukum pidana.
”Oleh karena itu, KPK memohon kepada hakim praperadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara praperadilan ini dengan amar putusan menolak permohonan praperadilan yang diajukan tersangka NH (Nurhadi) dan kawan-kawan atau setidaknya menyatakan permohonan praperadilan tidak dapat diterima atau niet ontvankelijk verklaard,” kata Ali.
Menurut catatan Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, KPK sebenarnya telah tiga kali memanggil Nurhadi, Rezky, dan Hiendra untuk dimintai keterangan. Namun, ketiga panggilan itu tak dipenuhi ketiganya, tanpa ada keterangan.
”Sampai saat ini, ketiga tersangka masih lenggang bebas tanpa ada ketegasan KPK untuk melakukan pemanggilan paksa pasca-ditetapkan sebagai tersangka,” katanya.
Terlepas dari adanya permohonan praperadilan, Haris menekankan, tidak ada kewajiban KPK untuk diam melihat kondisi tersebut. Sebaliknya, KPK harus meneruskan tindakan hukum untuk memanggil paksa setelah tiga kali pemanggilan.
”Kami menduga, kepemimpinan baru KPK yang lemah, kerumitan sistem mengambil keputusan karena UU KPK baru menjadi celah yang akan digunakan tersangka untuk kabur dari jerat hukum. Kami mempertanyakan bagian penindakan KPK yang terkesan sengaja tidak bekerja dan bermain mata dengan tersangka,” tutur Haris.
Untuk itu, Lokataru Foundation mendesak KPK agar segera melakukan upaya hukum berupa penangkapan kepada para tersangka. KPK juga harus bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku demi terciptanya kepastian hukum.