Mekanisme PSI yang mengedepankan transparansi dan pelibatan publik dalam menentukan calon di pilkada dapat meminimalkan transaksional yang kerap terjadi saat penentuan calon.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah partai politik tidak berminat untuk mengikuti gaya Partai Solidaritas Indonesia atau PSI dalam mencari calon yang akan diusung untuk Pemilihan Kepala Daerah 2020. Padahal, transparansi dan pelibatan publik dalam menentukan calon seperti diterapkan PSI penting agar publik mengetahui alasan partai mengusung calon tertentu sekaligus mencegah transaksional yang kerap terjadi saat proses pencalonan.
PSI menggelar konvensi pemilihan kepala daerah (pilkada) sebelum memutuskan calon yang akan diusung pada Pilkada 2020. Untuk Pilkada Tangerang Selatan dan Surabaya, misalnya, PSI telah membuka pendaftaran bagi mereka yang ingin maju di pilkada, dan mulai menyeleksi mereka, akhir pekan lalu.
Ada empat tahapan seleksi, mulai dari administrasi, wawancara oleh pakar, debat publik, hingga survei elektabilitas. Pakar yang dilibatkan tidak sembarangan. Seluruh proses pun transparan, publik, misalnya, bisa melihat wawancara oleh pakar langsung melalui akun Facebook PSI.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, di Jakarta, Senin (20/1/2020), menghormati gaya PSI dalam menjaring calon yang akan diusung pada Pilkada 2020. Namun, Gerindra tidak berminat mengikutinya karena sudah memiliki mekanisme sendiri untuk menentukan calon.
Selama ini, Gerindra membentuk badan seleksi yang terdiri atas pimpinan partai di setiap tingkatan.
Untuk pemilihan wali kota/wakil wali kota atau bupati/wakil bupati, badan seleksi dikoodinasikan oleh pimpinan partai di tingkat daerah. Sementara pada pemilihan gubernur, badan seleksi disupervisi oleh pimpinan DPP. Kemudian, keputusan resmi akan ditentukan dalam rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerindra sekitar Februari hingga Maret mendatang.
”Hasilnya selama ini efektif karena kami mengetahui kebutuhan daerah dan mereka (bakal calon kepala daerah) tahu bagaimana berkoordinasi dengan partai,” katanya.
Senada, Hinca mengatakan, dirinya menghormati strategi PSI untuk menggelar konvensi. Akan tetapi, cara itu tidak digunakan Demokrat sekalipun Demokrat berpengalaman melaksanakan konvensi untuk Pemilu Presiden 2014.
Dia pun menyebut partai memiliki mekanisme tersendiri untuk menentukan calon kepala daerah/wakil kepala daerah tanpa mau menjelaskan lebih detail mekanisme tersebut. ”Cara yang sama dengan pilkada sebelumnya,” katanya.
Sebaliknya, Wakil Sekjen PDI-P Arif Wibowo mengklaim partainya telah lama mempraktikkan penjaringan secara terbuka.
”Kami juga terbuka, orang mendaftar ke kita, kan, rakyat juga tahu, kalau kita memilih si A, si B, kita jelaskan dasarnya apa. Kami juga ada tes tertulis, tes psikologi, wawancara, penelusuran rekam jejak, dan survei elektabilitas. Itu justru lengkap,” katanya.
Proses itu dijalankan partai untuk mencari orang berintegritas dan berkapasitas yang memang mampu memimpin daerah.
”Kami enggak mau lucu-lucuan. PSI kemarin, kan, ada tes-tesan caleg-nya, tapi buktinya enggak lulus ambang batas parlemen,” tambahnya.
Meskipun demikian, diakuinya, tidak semua proses bisa terang-terangan dibuka ke publik. Sebagai contoh, hasil survei bakal calon. Kemudian kajian partai atas rekam jejak bakal calon.
”Yang begitu-begitu tidak mungkin bisa disampaikan secara umum kepada publik, namanya juga pertarungan politik,” tambah Arif.
Peneliti di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, melihat mekanisme perekrutan yang dilakukan oleh PSI patut diapresiasi di tengah pola perekrutan partai-partai lain di pilkada selama ini yang selalu tertutup. Transparansi dan pelibatan publik yang ditekankan PSI dalam menentukan calon hendaknya mendorong perubahan di partai lain.
”Dengan pola perekrutan yang terbuka itu, publik bisa melihat dengan jelas alasan partai mengusung calon tertentu dan bisa berkontribusi memberikan masukan. Transparansi juga mencegah transaksional dalam penetapan calon,” katanya.
Diharapkan, mekanisme transparan itu tetap diterapkan PSI hingga tiba waktu penetapan calon. Sebagai contoh, saat melakukan komunikasi politik dengan partai lain untuk mengusung calon yang dijagokan PSI, termasuk komitmen yang dibangun untuk berkoalisi.
”Jadi transparansi bukan show sesaat, harus terus transparan hingga akhir,” tambahnya.