Peran Partai Politik Digugat
Peran partai politik di dalam demokrasi sangat signifikan. Hanya saja, hingga kini partai dinilai sebagai salah satu sumber permasalahan dalam demokrasi di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS - Peran partai politik dipertanyakan menyusul turunnya skor partisipasi politik dalam indeks demokrasi 2019 yang diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU). Kondisi ini dinilai ironis mengingat posisi partai politik sebagai tulang punggung demokrasi.
Sebagaimana sebelumnya diwartakan Kompas, Indonesia berada di posisi ke-64 dari 167 negara dalam indeks tersebut. Posisi yang menempatkan Indonesia pada kelompok negara-negara “flawed democracy” ini naik dibandingkan tahun 2018 saat berada di tempat ke-65 dan posisi ke-68 pada 2017.
Indeks demokrasi 2019 yang disusun EIU tersebut menggunakan judul “A year of democratic setbacks and popular protest” untuk menggambarkan kondisi umum yang terjadi. Metodologi penilaian menggunakan skala 0-10 dengan didasarkan pada pemeringkatan terhadap 60 indikator yang dikelompokkan menjadi lima kategori. Masing-masing adalah kategori proses elektoral dan pluralisme; kebebasan sipil, keberfungsian pemerintah; partisipasi politik; dan budaya politik.
Baca juga: Benahi Pelibatan Politik Publik
Kategori keberfungsian pemerintah, budaya politik, dan kebebasan sipil mengalami stagnasi. Proses elektoral dan pluralisme naik. Sementara kategori partisipasi politik turun.
Pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Hurriyah, pada Kamis (23/1/2020) mengatakan turunnya partisipasi politik cenderung merupakan dampak ketika publik merasa muak dengan partai politik. Kekecewaan itu terlihat karena ada keterputusan hubungan antara rakyat dan wakil rakyat.
“Orang (rakyat) memilih langsung, iya, dan masyarakat antusias memilih. Tapi yang jadi persoalan adalah, dalam proses partisipasi (politik), ada banyak sekali faktor mempengaruhi,” sebut Hurriyah.
Sebagian faktor-faktor itu adalah polarisasi politik yang tajam, mobilisasi massa, dan sebagainya. Partisipasi politik dinilai tidak sepenuhnya otonom. Gerakan relawan politik misalnya, imbuh Hurriyah, tidak lagi bersifat sukarela.
Lebih jauh ia menyoroti peran partai politik yang dinilai sebagai salah satu sumber permasalahan dalam demokrasi di Indonesia. Ironisnya, tidak mungkin ada demokrasi tanpa kehadiran partai politik. Namun di sisi lain, partai juga menjadi institusi yang paling tidak demokratis.
Secara internal misalnya, Hurriyah mengatakan bahwa sirkulasi atau regenerasi kepemimpinan dalam partai politik cenderung tidak berjalan dengan baik. Praktik oligarki politik juga dinilai terjadi. Karena menurut Hurriyah, hanya orang-orang sangat kaya atau yang didukung oleh orang sangat kaya sajalah yang bisa mendanai mesin partai.
Persoalan berikutnya ialah relatif tidak berjalannya kaderisasi dalam partai. Model pemilihan dengan sistem proporsional terbuka yang menuntut keberadaan calon populer menjadi alasan tidak berjalan baiknya praktik kaderisasi dalam partai.
Fungsi rekrutmen, sosialisasi, komunikasi, dan representasi yang mestinya dilakukan partai politik dinilai Huriyyah tidak berjalan baik. Ia berpendapat, inti masalahnya ada pada proses dalam partai yang bersifat kandidat sentris.
“Partai kan nggak kerja. Partai jual tiket (untuk mencalonkan diri) aja sebenarnya, dan menjual tiket itu dengan mahal,” sebut Hurriyah.
Kandidat bersangkutan lalu membuat dan menjalankan sendiri mesin politiknya, simpul-simpul politiknya, hingga sebagian di antaranya melakukan praktik politik uang. Akan tetapi saat masuk ke dalam lembaga perwakilan rakyat, otonomi kandidat itu hilang karena mesti berhadapan dengan oligarki partai.
Pada berbagai kasus yang terjadi, jika ada seorang anggota legislatif dihadapkan pada pilihan antara aspirasi konstituen atau kepentingan partai politik, jika yang bersangkutan menolak kepentingan partai, maka terdapat kemungkinan ia dipecat. Hurriyah mengatakan, itu masih ditambah dengan sejumlah kasus pergantian antar waktu yang cenderung jadi modus baru bagi partai politik untuk mengganti wakil rakyat, dimana sebagian besar dialami politikus perempuan.
“Memang betul, partai politik punya persoalan serius dan ini menyebabkan publik semakin apatis dengan partai politik,” ujar Hurriyah.
Baca juga: Mencermati Indeks Demokrasi
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyayangkan posisi Indonesia yang jatuh di bawah Malaysia dalam indeks tersebut. Padahal menurutnya, Indonesia merupakan negara paling diandalkan di Asia Tenggara selama bertahun-tahun terkait kualitas demokrasi.
Bahkan jika melihat pada daftar indeks tersebut, selain Malaysia yang berada di atas Indonesia pada posisi ke-43, ada juga Filipina di peringkat ke-54 dan Timor Leste di posisi ke-41. Itu masih ditambah dengan kemajuan demokrasi Thailand dengan peningkatan skor 1,69 poin untuk pindah dari kelompok negara “hybrid regime” menjadi “flawed democracy.”
Usman menyoroti soal poin kebebasan sipil yang stagnan dan dinilainya kemungkinan dipengaruhi pada penyelenggaraan Pemilu serentak 2019. Hal ini membuat sejumlah hal tidak terlihat. Namun jika disigi secara detail, Usman menyoroti sejumlah kasus intoleransi terhadap sebagian kelompok agama, LGBT, pembunuhan mantan wartawan, kematian aktivis Walhi Golfrid Siregar, dugaan pembakaran rumah Direktur Walhi Nusa Tenggara Barat (NTB) Murdani hingga pernyataan sejumlah pejabat yang sangat memusuhi aktivis lingkungan.
Terkait dengan partisipasi politik yang turun, Usman melihat hal tersebut dapat dihubungkan dengan peran partai politik sebagai kanal atau tulang punggung dalam proses demokrasi elektoral. Hal ini misalnya terkait dengan sejumlah problem internal dalam partai politik. Di dalamnya termasuk ketua partai yang tidak dipilih lewat mekanisme demokratis, kecenderungan ketergantungan pada modal oligarki, tidak mengumumkan sumber dana partai, keterlibatan pada korupsi, penggunaan uang dalam memperoleh suara, hingga mengubah hasil-hasil urutan dalam proses keterpilihan wakil rakyat.
“Ini peringatan buat partai,” sebut Usman.
Menanggapi hal itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Kamrussamad mengatakan, terkait partisipasi politik, sudah saatnya partai politik mengubah paradigma. Perubahan paradigma ini dari yang sebelumnya berupa mobilisasi dukungan menjadi edukasi politik. Tujuannya untuk memperkuat kesadaran politik publik. Hal ini terutama dalam hubungannya untuk menentukan pilihan berdasarkan program serta visi misi.
Partai politik juga disebutnya perlu memperbaiki sistem rekrutmen anggota dan kaderisasi, sehubungan dengan pembangunan budaya politik.
Adapun terkait kebebasan sipil, Kamrussamad menyebut perlu dilakukan evaluasi posisi dan peran kelembagaan Polri dalam menangani aspirasi masyarakat yang berkembang. Selain itu, pola kebijakan pemerintah yang menggunakan UU ITE dalam menghadapi perbedaan pendapat seringkali mengesankan terjadinya pembungkaman suara publik. Ia berharap untuk selanjutnya, pendekatan yang dilakukan lebih edukatif dan humanis.