Salah Info Soal Harun Masiku, Ombudsman Panggil Yasonna Laoly
Ombudsman menyelidiki dugaan mala-administrasi dalam perubahan informasi terkait buron KPK, Harun Masiku. Menkumham Yasonna Laoly dipanggil untuk diperiksa di kantor Ombudsman, Senin (27/1/2020).
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia memanggil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly untuk dimintai keterangan terkait perubahan informasi atas buron Komisi Pemberantasan Korupsi, Harun Masiku, tersangka penyuap mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan. Ombudsman menyelidiki dugaan mala-administrasi dalam perubahan informasi tersebut.
Anggota Ombudsman RI Bidang Peradilan dan HAM, Adrianus Meliala, menyampaikan, pihaknya sudah melayangkan surat kepada Yasonna untuk datang ke Kantor Ombudsman RI di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (27/1/2020).
”Kami mau minta keterangan resmi,” katanya kepada Kompas, Jumat (24/1/2020).
Pihak Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebelumnya menyatakan Harun berangkat ke Singapura pada 6 Januari 2020. Kemudian, pada 16 Januari 2020, Yasonna menyampaikan, Harun masih berada di luar negeri sejak 6 Januari 2020.
Namun, Rabu (22/1/2020), jajaran Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kemenkumham mengubah informasi soal Harun dan menyatakan Harun telah kembali ke Indonesia pada Selasa, 7 Januari 2020, atau sehari sebelum operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wahyu.
Adrianus mengatakan, ada setidaknya tiga hal yang akan didalami oleh Ombudsman untuk mengetahui adanya mala-administrasi atau tidak dalam kasus Harun.
Pertama, terkait sistem basis data Imigrasi yang selama ini dikenal baik, tetapi ternyata bermasalah, bahkan bisa disebut di bawah standar kualitas.
Kemudian, terkait informasi kepulangan Harun yang baru diketahui setelah dua minggu lebih penyidikan atas Harun berjalan.
”Ini dapat diindikasikan sebagai ketidakprofesionalan,” ujar Adrianus.
Ketiga, jika memang benar Yasonna sudah mengetahui kepulangan Harun, tetapi menyampaikan informasi yang salah, hal itu dapat dikatakan sebagai obstruction of justice atau menghalangi proses hukum.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menilai, dugaan obstruction of justice yang dilakukan Yasonna perlu didalami lebih lanjut. Sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, seseorang dinilai melakukan obstruction of justice jika ada unsur kesengajaan.
”Ini yang harus didalami. Terlebih pihak Imigrasi telah menyatakan bahwa akan melakukan pemeriksaan lebih dahulu terkait apakah ada faktor kesengajaan terkait tidak tercatatnya tersangka HAR (Harun) ke Indonesia,” kata Ali.
Peneliti dari Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Leo Agustino, menilai, keterlambatan informasi yang diperoleh pihak Imigrasi memang patut dipertanyakan. Dengan sumber daya yang dimilikinya, seharusnya keterlambatan tersebut tidak terjadi.
Menyikapi kesalahan informasi dari Yasonna dan pihak Imigrasi di Kemenkumham, kalangan masyarakat sipil dan akademisi meluncurkan petisi ”Presiden Jokowi, Berhentikan Yasonna Laoly karena Kebohongan Publik tentang Harun Masiku” di laman Change.org. Hingga pukul 13.30, sudah ada 1.305 warganet yang menandatangani petisi ini.
Petisi diinisiasi oleh 54 warga yang terdiri dari masyarakat sipil dan akademisi. Ade Armando, salah satu inisiator dari Universitas Indonesia, menyebutkan, Presiden Jokowi harus bertindak tegas agar menjaga kepercayaan publik pada wibawa pemerintah dan penegakan hukum.
Rakanda Ibrahim Gandapermadi, salah satu warganet yang turut menandatangani petisi, menilai, menteri seharusnya dapat meninggalkan atribut kepartaian saat menjabat karena kepentingan publik lebih besar daripada kepentingan partai.
Harun ditetapkan KPK sebagai tersangka pemberi suap kepada Wahyu Setiawan dalam kasus proses pergantian antarwaktu anggota DPR. Harun diduga memberikan sejumlah uang kepada Wahyu agar dia bisa menjadi anggota DPR menggantikan anggota DPR dari PDI-P, Riezky Aprilia. Wahyu diamankan oleh KPK pada Rabu, 8 Januari 2020.
Selain Wahyu, dua orang lainnya yang diamankan oleh KPK ditetapkan menjadi tersangka. Adapun Harun lepas dari operasi tangkap tangan KPK.