Saat Presiden Diingatkan agar Investor Tak Lari
Argumentasi pemerintah bahwa investasi Indonesia tidak bisa berkembang jika pemberantasan korupsi dan penegakan hukum masif dipatahkan lewat hasil Indeks Persepsi Korupsi 2019 yang dirilis Transparency International.
Argumentasi pemerintah bahwa investasi Indonesia tidak bisa berkembang jika pemberantasan korupsi dan penegakan hukum masif dipatahkan lewat hasil Indeks Persepsi Korupsi 2019 yang dirilis Transparency International. Tanpa penegakan korupsi yang kuat, investor bersih tidak akan betah dan akhirnya menyisakan para pebisnis korup yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Masih jelas dalam ingatan, pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di tengah polemik pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, 23 September 2019. Moeldoko mengatakan, revisi UU KPK harus segera dilakukan karena lembaga antirasuah itu menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Meski belakangan dinyatakan ada kesalahan pengutipan pers, pernyataan Moeldoko telanjur menjadi viral.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2019 yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta, Kamis (23/1/2020), menunjukkan sebaliknya. Hasil penelitian terhadap kondisi pemberantasan korupsi di 180 negara pada medio setahun terakhir sampai Oktober 2019 itu menunjukkan adanya peningkatan skor IPK Indonesia.
Kenaikan skor indeks persepsi Indonesia salah satunya banyak disumbang oleh persepsi positif mengenai penegakan korupsi, yang berdampak pada tata kelola investasi di Indonesia, sebelum revisi UU KPK.
Indonesia mendapat skor 40, naik dua poin dibandingkan dengan capaian sebelumnya pada 2018, yakni skor 38. Dengan nilai itu, peringkat Indonesia naik dari peringkat ke-89 menjadi ke-85 dari total 180 negara. Skor 0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih.
Indonesia mendapat skor 40, naik dua poin dibandingkan dengan capaian sebelumnya pada 2018, yakni skor 38. Dengan nilai itu, peringkat Indonesia naik dari peringkat ke-89 menjadi ke-85 dari total 180 negara. Skor 0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih. Skor indeks persepsi korupsi diukur berdasarkan gabungan sembilan survei dan indeks global lain sebagai acuan data.
Kesembilan sumber data itu adalah World Economic Forum, International Country Risk Guide, Global Insight Country Risks Ratings, IMD World Competitiveness Yearbook, dan Bertelsmann Foundation Transform Index. Selain itu, ada juga Economist Intelligence Unit Country Ratings, PERC Asia Risk Guide, Variaties of Democracy Project, dan World Justice Project.
Lantas, apa yang menyebabkan skor Indonesia naik dua poin setelah lima tahun terakhir trennya hanya meningkat sebanyak satu poin atau stagnan?
Kenaikan skor Indonesia pada 2019 salah satunya banyak disumbang oleh aspek perbaikan lingkungan finansial dan ekonomi sebagaimana yang tampak dari hasil survei International Country Risk Guide oleh Political Risk Services (PRS) 2019, yang skornya naik 8 poin sejak 2018, dari 50 menjadi 58.
International Country Risk Guide oleh PRS menganalisis aspek lingkungan finansial, ekonomi, dan politik di negara-negara serta menyoroti iklim berusaha, risiko investasi, dan kesempatan bisnis di suatu negara.
Aspek lain yang signifikan menyumbang kenaikan IPK 2019 adalah penegakan hukum yang tegas kepada pelaku suap dan korupsi dalam sistem politik, sebagaimana yang tampak dari hasil IMD World Competitiveness Yearbook, yang naik 10 poin dari skor 38 menjadi 48.
Hal ini tampak dari masifnya operasi tangkap tangan serta pengembangan kasus yang menyasar sejumlah elite politik, dari anggota DPRD sampai pucuk pimpinan partai politik pendukung pemerintah, seperti Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy.
Sekretaris Jenderal TII Dadang Tri Sasongko mengatakan, hasil skor IPK 2019 menunjukkan, pebisnis selama ini yakin bahwa koruptor bisa ditindak dengan kehadiran lembaga antirasuah yang kuat dan pemberantasan korupsi yang gencar. Hal itu memberi semacam ketenangan bagi pengusaha untuk berbisnis di Indonesia.
”Dengan melemahnya KPK sekarang, kita tidak tahu akan seperti apa ke depan karena riset saat ini belum menangkap situasi pascarevisi UU KPK,” kata Dadang.
Dengan melemahnya KPK sekarang, kita tidak tahu akan seperti apa ke depan karena riset saat ini belum menangkap situasi pascarevisi UU KPK.
Sebagai catatan, riset TI berakhir sebelum revisi UU KPK disahkan pemerintah dan DPR, yang saat itu menuai aksi unjuk rasa penolakan yang luas dari publik. Dengan demikian, skor IPK 2019 menunjukkan kinerja KPK sebelum revisi UU KPK alias tidak menangkap dinamika pascarevisi, yang saat ini terbukti menghalangi proses penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Investor bersih kabur
Meski tidak jadi indikator penilaian, TI turut menyoroti dinamika pascarevisi UU KPK dalam laporannya. TI mencatat, independensi dan otonomi kerja KPK dilemahkan oleh pemerintah. Pelemahan di bidang pemberantasan korupsi itu dinilai bertentangan dengan agenda Presiden yang tengah mendorong masuknya investasi asing dan peningkatan ekonomi.
Berbagai penelitian empiris, seperti Corruption and Foreign Direct Investment in East Asia and South East Asia oleh Rahim M Quazi (2014), menunjukkan, korupsi berdampak negatif terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi. Upaya memperbaiki iklim investasi harus sejalan dengan langkah menekan korupsi.
Itu karena, mengacu pada Laporan Global Competitiveness Report 2017-2018 dari World Economic Forum, faktor terpenting yang membuat investor enggan menanamkan modal di suatu negara adalah korupsi. Secara sederhana, korupsi menciptakan ekonomi berbiaya tinggi, bertentangan dengan prinsip pengusaha yang mengutamakan efisiensi biaya.
Menurut Dadang, tren pemberantasan korupsi yang melemah saat ini dapat membuat investor khawatir dan enggan menanamkan modalnya di Indonesia serta memperlambat laju pertumbuhan ekonomi yang dicita-citakan pemerintah.
Ia mengatakan, mayoritas responden penelitian indeks persepsi korupsi TI adalah investor dan pengusaha. Selama ini, KPK dipandang sebagai institusi yang mampu mengurangi tingginya tingkat korupsi di Indonesia sehingga iklim berinvestasi masih dinilai memadai dan indeks persepsi korupsi masih bisa naik dua poin.
Namun, ke depan, di tengah pelemahan gerakan antikorupsi, yang terjadi bisa sebaliknya. Terlebih, pelemahan itu diiringi dengan kebijakan pemerintah melakukan deregulasi peraturan berinvestasi lewat penggabungan 1.244 pasal dan 79 undang-undang dalam omnibus law demi menggenjot investasi, tetapi kurang memberikan perhatian pada antisipasi korupsi.
Hal ini memunculkan pertanyaan, investor seperti apa yang diincar pemerintah? Sebab, dengan memberikan kemudahan bagi investor masuk ke Indonesia, tetapi tidak membenahi sektor politik dan penegakan hukum, investor yang masuk akan berhadapan dengan tata kelola usaha yang sarat praktik korupsi.
”Di negara bersih, investor korup tidak akan kerasan. Sebaliknya, hanya investor korup yang bisa bertahan hidup di negara yang korup,” kata Dadang.
Mengakui pelemahan
Anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris, mengakui, revisi UU KPK terbukti melemahkan KPK dan proses penegakan hukum. Hal itu tampak kentara baru-baru ini lewat penanganan kasus dugaan suap penetapan anggota DPR di daerah pemilihan Sumatera Selatan I yang melibatkan caleg PDI-P, Harun Masiku, kepada komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Urusan penggeledahan sejumlah lokasi, seperti kantor DPP PDI-P, terkendala karena masalah perizinan dengan Dewan Pengawas (Dewas). Kerumitan seperti itu bisa terjadi karena UU KPK hasil revisi mengatur, sebelum melakukan penggeledahan, penyadapan, dan penyitaan, KPK harus mendapat izin Dewas terlebih dahulu.
”Memang melemahkan. Saya hadir di Dewas dengan niat dan komitmen yang sama dengan anggota Dewas yang lain, yaitu menahan laju pelemahan KPK,” kata Syamsuddin, yang hadir dalam peluncuran IPK 2019.
Memang melemahkan. Saya hadir di Dewas dengan niat dan komitmen yang sama dengan anggota Dewas yang lain, yaitu menahan laju pelemahan KPK.
Ke depan, ujar Syamsuddin, untuk menjaga pemberantasan korupsi, pemerintah, partai politik, dan KPK harus terus ”digonggongi”. Kritik dan tekanan dari publik serta kelompok masyarakat sipil menjadi kunci untuk menjaga semangat pemberantasan korupsi.
”KPK, partai, dan pemerintah mesti digonggongi. Harus diingatkan bahwa Anda membawa negara ini masuk jurang, bukan membawa bangsa ini menjadi lebih baik,” ucap Syamsuddin.
Untuk meningkatkan indeks persepsi korupsi ke depan, agenda merevisi kembali UU KPK tetap perlu didorong untuk mengembalikan independensi KPK dan semangat pemberantasan korupsi pada relnya. Syamsuddin mengatakan, hal itu kembali pada faktor kepemimpinan dan niat politik pemerintah dan DPR.
Faktor kepemimpinan adalah kunci suksesnya gerakan antikorupsi. Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono membandingkan kondisi Indonesia dengan negara tetangga Malaysia. Skor IPK 2019 Malaysia mengalami lonjakan drastis hingga enam poin, dari 47 pada 2018 menjadi 54 pada 2019.
Hal itu disebabkan oleh kebijakan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad yang saat menjabat langsung melakukan reformasi sistem ekonomi, politik, dan penegakan hukum di Malaysia. Mulai dari pembersihan terhadap pejabat korup di berbagai instansi pemerintah, mengangkat mantan pejabat yang pernah terancam hukuman mati di era PM Najib Razak untuk memimpin lembaga antirasuah, sampai memastikan Najib diadili atas skandal korupsi bernilai miliaran dollar.
”Jadi, sukses gerakan antikorupsi adalah political will, apa pun sistem politik dan pemerintahannya. Kalau tidak ada political will, tidak akan ada perbaikan,” ujar peneliti Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam.
Jika berbicara dalam bahasa demokrasi dan diksi pemberantasan korupsi, mungkin kenyataan ini bisa mengingatkan Presiden Jokowi untuk kembali memberikan perhatian pada aspek penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, yang sejak dulu selalu digaungkannya.