Silaturahmi dengan FKUB, Wapres Ingin Pulihkan Yogyakarta sebagai Kota Toleransi
Wakil Presiden Ma’ruf Amin, akhir pekan lalu, bersilaturahmi dengan Forum Kerukunan Umat Beragama Yogyakarta. Ia ingin pulihkan kembali Yogyakarta sebagai Kota Toleransi setelah maraknya aksi intoleransi belakangan ini.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden Ma’ruf Amin, akhir pekan lalu, bersilaturahmi dengan Forum Kerukunan Umat Beragama Yogyakarta. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X turut hadir pada acara tersebut. Juga anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah dan para pemuka agama-agama di Yogyakarta.
”Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) diharapkan memberi stimulan agar semua pihak terus menjaga kerukunan. FKUB dibangun untuk menjaga kerukunan umat. Yogyakarta punya kearifan lokal kuat, yakni tak adanya konflik agama. Karena itu, jangan sampai potensi positif di Yogya terganggu,” tutur Wapres Amin saat sambutan.
”Sesungguhnya ketidakdamaian itu karena tidak ada dialog atau sesudah dialog tidak terdapat kesepakatan. Kesepakatan sering dicederai atau dibatalkan oleh pihak tertentu. Bagaimana menjaga kesepakatan itu agar menjadi damai dan tidak menjadi konflik sehingga Indonesia menjadi contoh,” kata Wapres Amin lagi.
Sesungguhnya ketidakdamaian itu karena tidak ada dialog atau sesudah dialog tidak terdapat kesepakatan. Kesepakatan sering dicederai atau dibatalkan oleh pihak tertentu. Bagaimana menjaga kesepakatan itu agar menjadi damai dan tidak menjadi konflik sehingga Indonesia menjadi contoh.
FKUB, menurut Ma’ruf, diharapkan memberikan stimulan agar semua pihak terus menjaga kerukunan. FKUB dibangun untuk menjaga kerukunan umat beragama.
”Kerukunan umat beragama unsur utama dari kerukunan nasional. Kalau ini terganggu, kerukunan nasional akan terganggu. Karena itu, kerukunan umat beragama adalah kunci. Maka itu, kita membangun FKUB provinsi ataupun kabupaten dan kota,” kata Ma’ruf.
Tantangan bangsa Indonesia saat ini, Ma’ruf menekankan, adalah adanya kelompok-kelompok intoleran. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan tidak boleh memberikan kesempatan kepada kelompok intoleran.
Ma’ruf berpendapat, cara berpikir intoleran melahirkan radikalisme dan ujungnya terorisme. Majelis Ulama menyebut kelompok tersebut adalah kelompok fanatik. Mereka yang tidak sepaham dianggap salah. Maka, lahirlah kafir, tidak hanya yang berbeda agama, tetapi juga yang seagama sekalipun.
Oleh karena itu, Wapres melanjutkan, pemerintah memandang perlu lebih serius menangkal radikalisme. Caranya melalui kontraradikalisasi dan deradikalisasi. Kontraradikalisasi artinya ketika kelompok tertentu berupaya melakukan radikalisasi, seluruh pemangku kepentingan perlu menangkal agar jangan sampai masyarakat terprovokasi oleh cara berpikir radikal tersebut. Ikhtiarnya dari hulu ke hilir.
Di bidang pendidikan, caranya melalui lembaga pendidikan dari PAUD sampai ke pendidikan tinggi. Sementara upaya kontraradikalisme antara lain dilakukan dengan melibatkan semua kementerian dan lembaga negara untuk membangun cara paham yang moderat.
Empat bingkai penguat
Sejalan dengan itu, Ma’ruf berpendapat, terdapat empat bingkai yang harus dikuatkan. Pertama, bingkai politik yang menyangkut komitmen sekaligus inplementasi terhadap konsensus nasional, Pancasila salah satunya. Kedua, bingkai penegakan hukum atau bingkai yuridis. Maksudnya adalah memperkuat aturan yang bisa mencegah rusaknya keutuhan bangsa ini.
Ketiga, bingkai sosiologis, yaitu kearifan lokal. Yogyakarya, menurut Ma’ruf, punya kearifan lokal yang kuat, yakni tidak adanya konflik agama. Keempat, bingkai teologi, yakni supaya agama-agama membangun teologi kerukunan bukan teologi konflik.
”Karena itu, jangan sampai potensi positif yang ada di Yogya terganggu. Kalau terganggu, itu bisa merembet ke provinsi lain,” kata Wapres.
Karena itu, jangan sampai potensi positif yang ada di Yogya terganggu. Kalau terganggu, itu bisa merembet ke provinsi lain.
Menanggapi hal itu, Sultan HB X menyatakan, silaturahmi di Yogyakarta memiliki dua makna. Pertama, mengembalikan memori kolektif bangsa Indonesia. ”Dulu, Republik Jogja telah merefleksikan perjuangan bersama, tanpa membeda-bedakan agama, keyakinan, suku, ras, golongan, status sosial, dan lain-lain. Di kota inilah proses menjadi Indonesia itu diwujudnyatakan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang disemaikan, dipupuk, dan dibangun bersama,” kata Sultan.
Kedua, Sultan melanjutkan, memulihkan citra Yogyakarta sebagai kota toleransi yang akhir-akhir ini sering tercederai oleh perilaku intoleransi dan tindak kekerasan dari mereka yang keyakinannya tentang agama belum paripurna. Padahal, ajaran paling elementer dalam agama Islam adalah Islam untuk seluruh alam semesta.
Tantangan serius
Saat menyampaikan pidato kunci di acara forum Eurasia Centrist Democrat International (CDI) di Yogyakarta, Wapres Amin menyampaikan, dialog dan kesepakatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan menjadi jalan mencapai dan menjaga harmoni kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Belakangan dengan maraknya ujaran kebencian, intoleransi, dan radikalisme, jalan tersebut justru semakin relevan untuk menjadi ikhtiar bersama.
”Akhir-akhir ini, masyarakat di berbagai belahan bumi, khususnya mereka yang menganut demokrasi, dihadapkan pada tantangan yang serius, yaitu masalah intoleransi, penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, egoisme kelompok, diskriminasi atau pun kekerasan berbasis etnis atau agama, radikalisme, dan terorisme,” kata Wapres Amin.
Hadir dalam acara itu antara lain Sultan HB X, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, dan Sekretaris Jenderal CDI Antonio Lopez Isturiz.
Kebebasan berekspresi yang dijamin demokrasi dan ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi yang maju, Ma’ruf melanjutkan, telah dimanipulasi untuk menyebarkan hal-hal negatif tersebut. Ini semua merusak sendi-sendi harmoni kehidupan bermasyarakat, menciptakan kegaduhan bahkan kekerasan, dan mengancam demokrasi.
Pada berbagai belahan bumi, Ma’ruf memaparkan, konflik bersenjata dan perang terus terjadi. Situasi ini menelan banyak korban nyawa, menyengsarakan jutaan umat manusia khususnya perempuan dan anak-anak, dan menghancurkan peradaban.
”Esensi demokrasi adalah dialog dan kesepakatan. Esensi dialog adalah saling memahami menuju suatu kesepakatan, untuk hidup bersama dengan saling menerima, saling menghormati perbedaan,” kata Wapres.
Esensi demokrasi adalah dialog dan kesepakatan. Esensi dialog adalah saling memahami menuju suatu kesepakatan, untuk hidup bersama dengan saling menerima, saling menghormati perbedaan.
Dari perspektif pemahaman tersebut, menurut Ma’ruf, terjadinya sikap dan tindakan intoleran, radikalisme, terorisme, dan konflik bersenjata, disebabkan karena pelanggaran atas kesepakatan dan absennya dialog. Pendekatan kekuatan militer sebagai solusi terbukti tidak sepenuhnya efektif. Pendekatan itu dalam banyak kasus justru menyisakan rasa dendam yang pada gilirannya memicu konflik-konflik lanjutan dan tindakan-tindakan radikal dan kekerasan. Hal itu terjadi akibat hilangnya harapan masa depan di kalangan masyarakat, khususnya kalangan muda.
”Disadari ataupun tidak, peradaban manusia saat ini menghadapi tantangan yang sangat serius dari pemahaman, sikap dan tindakan sebagian dari kita yang tidak menghormati atau bahkan mengingkari kesepakatan. Oleh karena itu, merupakan tugas bagi kita semua yang cinta damai, cinta demokrasi dan cinta kemajuan bersama, untuk memajukan kembali dialog serta membangun dan menjaga kesepakatan,” kata Wapres.
Bangsa Indonesia terdiri sekitar 300 kelompok etnis atau 1.340 ras atau klan yang berbeda-beda dan hidup tersebar di lebih dari 17.000 pulau. Masing-masing memiliki budaya, bahasa dan agama ataupun kepercayaan yang berbeda pula. Mungkin Indonesia adalah negara paling heterogen di dunia.
Persatuan dan keutuhan yang terjaga hingga saat ini, menurut Ma’rif, adalah berkat kesepakatan yang telah dikukuhkan para pendiri bangsa dalam Pancasila Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai dasar pembentukan negara Indonesia.
”Melalui forum yang mulia ini saya mengajak kita semua untuk ke depan secara bersama-sama mengembalikan agama ke tujuan awalnya, yaitu sebagai pembawa nilai-nilai harmoni, kesetaraan, dan perdamaian,” kata Wapres.