Demokratisasi partai politik bisa diawali dari perbaikan proses pencalonan anggota legislatif oleh partai. Salah satunya lewat pemilihan pendahuluan sebelum pencalonan.
Oleh
INK/AGE/REK
·3 menit baca
Demokratisasi parpol bisa diawali dari perbaikan proses pencalonan anggota legislatif oleh partai. Salah satunya lewat pemilihan pendahuluan sebelum pencalonan.
JAKARTA, KOMPAS - Belum baiknya demokratisasi internal partai politik mengakibatkan terjadi pengabaian suara rakyat melalui penggantian calon legislatif terpilih yang tidak sesuai aturan perundang-undangan. Dalam skala terkecil, demokratisasi internal partai dapat dimulai dari penjabaran operasional atas makna proses pencalonan di dalam partai yang dilakukan secara demokratis dan terbuka.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah mengatur ketentuan proses pencalonan di internal parpol. Namun, penerjemahan makna demokratis dan terbuka masih sangat tergantung setiap partai politik (parpol).
Pengajar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, dihubungi dari Jakarta, Senin (27/1/2020), mengatakan, demokratisasi yang lemah di internal parpol menjadi sumber masalah penggantian calon anggota legislatif (caleg) terpilih dalam Pemilu 2019. Pemberhentian sejumlah caleg terpilih umumnya tidak disertai argumentasi kuat sehingga timbul kesan pemberhentian itu dilakukan karena alasan personal, transaksional, atau adanya karakter oligarki partai.
"Pemberhentian sejumlah caleg terpilih umumnya tidak disertai argumentasi kuat sehingga timbul kesan pemberhentian itu dilakukan karena alasan personal, transaksional, atau adanya karakter oligarki partai"
Seperti diberitakan, kasus dugaan suap terhadap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, juga tidak terlepas dari upaya pergantian antarwaktu terhadap anggota DPR RI. Sebelum itu juga sudah terjadi penggantian terhadap calon anggota DPR terpilih oleh sejumlah parpol di pusat ataupun di daerah.
Menurut Mada, jika alasan pemberhentian ialah caleg tidak mampu menjalankan tugas sebagai petugas partai di lembaga legislatif yang memperjuangkan platform partai menjadi kebijakan publik, hal itu boleh saja. Partai memang memiliki kewenangan mengganti kadernya. Namun, ketiadaan alasan yang jelas menunjukkan ada persoalan di internal parpol.
Pemilihan pendahuluan
Peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, mengatakan, penjabaran lebih detail soal tata cara pencalonan di partai yang demokratis dan terbuka amat dibutuhkan, misalnya siapa yang terlibat dan bagaimana hal itu dilakukan. Pemilihan pendahuluan, kata Hadar, bisa muncul sebagai salah satu solusi menghasilkan caleg atau kandidat yang benar-benar dikehendaki partai dan konstituen.
Dalam proses ini, tiap parpol bisa menggelar semacam konvensi yang pemilihannya melibatkan masyarakat untuk menentukan kandidat mana yang layak dicalonkan, dan berpotensi mendulang suara.
”Terbuka kemungkinan mekanisme ini melibatkan penyelenggara pemilu sehingga mereka bisa menilai apakah proses itu sesuai prosedur atau tidak,” kata Hadar.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, mekanisme pemilihan awal di parpol-parpol pernah dilakukan dalam bentuk konvensi sebelum calon bersangkutan diajukan. Hal tersebut di antaranya pernah dilakukan Partai Demokrat dan Partai Golkar menjelang pemilihan presiden.
Mekanisme itu bisa dilihat sebagai mekanisme seleksi internal atau juga mekanisme kaderisasi. Dengan cara itu, parpol bisa melihat kader yang siap dan dibutuhkan partai.
Perubahan sistem
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengingatkan, sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini diterapkan mendorong fenomena ”politisi kutu loncat” yang berpindah partai, tetapi masih dipilih di pemilu. Sebaliknya, sistem proporsional tertutup dipandang bisa menjadi salah satu solusi guna meningkatkan ikatan emosional pemilih dengan parpol.
Terkait dengan hal itu, menurut Ahmad Doli, perubahan sistem pemilu perlu dilakukan dengan diiringi pembenahan mekanisme demokrasi di internal partai lewat revisi UU Parpol. Mekanisme demokrasi di internal parpol, menurut dia, bisa diwujudkan, salah satunya dengan melakukan pra- pemilu dalam menentukan caleg yang diusung.
Namun, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustofa mengatakan, sistem proporsional terbuka masih ideal untuk Indonesia. Dengan sistem ini, caleg terpilih merepresentasikan dua hal, yakni kepentingan parpol dan kepentingan konstituen.
Menurut dia, jika di tengah jalan caleg terpilih diganti, berarti ada proses yang keliru dalam penetapan caleg, atau ada ketidaktaatan elite parpol terhadap sistem yang ada. Hal ini semestinya yang diperbaiki parpol melalui mekanisme demokratis.