Presiden Minta Dukungan untuk Atasi Obesitas Regulasi
Semua pihak diminta mendukung upaya penyederhanaan peraturan yang dinilai Presiden Joko Widodo terlalu banyak sehingga menghambat investasi. Saat ini, ada 8.451 peraturan di tingkat pusat dan 15.985 peraturan daerah.
Oleh
Nina Susilo dan Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penyederhanaan sekaligus pemangkasan aturan perundangan dinilai perlu dilakukan untuk menghadapi tantangan dan perubahan yang sangat cepat saat ini. Untuk itu, pemerintah pun meminta dukungan semua pihak untuk menyelesaikan omnibus law atau yang dikenal dengan istilah undang-undang sapu jagad. Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan adalah dua omnibus law yang disiapkan pemerintah dan segera diajukan ke DPR.
Presiden Joko Widodo menyebut omnibus law ini sebagai langkah untuk menyederhanakan dan memangkas kerumitan peraturan yang menyulitkan bangsa ini memenangi persaingan. Saat ini, kata Presiden, terdapat 8.451 peraturan di tingkat pusat dan 15.985 peraturan daerah.
“Kita mengalami hiperregulasi, obesitas regulasi. Harapannya undang-undang kita lebih fleksibel dan responsif menghadapi era kompetisi seperti ini,” tuturnya saat menghadiri sidang pleno khusus penyampaian laporan tahunan MK di Gedung MK, Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Hadir dalam acara ini antara lain Ketua DPR Puan Maharani, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.
Obesitas regulasi tersebut memperumit segala urusan dan memperlambat langkah pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Karenanya, Presiden Joko Widodo menginginkan pemangkasan peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan direktur jenderal, dan peraturan daerah yang sangat banyak. Dengan demikian, ada kecepatan dalam merespons perubahan dunia yang sangat cepat.
“Karena itu, saya harap ada dukungan berbagai pihak untuk bersama pemerintah, untuk berada di visi yang sama, untuk menciptakan hukum yang fleksibel, sederhana, kompetitif, dan responsif demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat konstitusi kita,” tambah Presiden.
Apalagi, para pendiri bangsa sudah merumuskan UUD 1945 yang tak mudah lekang oleh waktu, mengatur hal-hal fundamental, serta memberi keleluasaan untuk mengatur banyak hal secara responsif. Untuk itu, segala aturan turunan yang rigid, tidak konsisten, dan mengekang ruang gerak semestinya dipangkas, disederhanakan, dan diselaraskan.
“UU Perpajakan dan UU Cipta Lapangan Kerja sedang kami siapkan dan segera kami sampaikan kepada DPR. Omnibus law memang belum populer di Indonesia tetapi diterapkan di negara lain seperti Amerika Serikat dan Filipina. Ini sebuah strategi reformasi regulasi,” tutur Presiden.
Juru bicara MK Enny Nurbaningsih mengatakan, MK mengapresiasi upaya pemerintah untuk menyederhanakan peraturan perundang-undangan melalui omnibus law.
“Kami menghargai dan mengapresiasi upaya pemeirntah itu, dan bisa memahami bahwa menyederhanakan ketentuan dan peraturan perundang-undangan memnag tidak mudah, serta memerlukan waktu,” katanya.
Namun, lebih dari itu ketentuan apapun yang diatur di dalam omnibus law berpotensi untuk dibawa ke MK, sehingga MK tidak boleh mengemukakan pendapat lebih detil terkait hal itu.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, omnibus law sangat mungkin dilakukan dalam sistem hukum di Indonesia yang menganut civil law. Suatu ketentuan lintas sektor yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan bisa dihamoniskan dengan perspektif omnibus law. Artinya, suatu tema aturan tertentu yang dahulu diatur ke dalam berbagai UU yang terpisah, sekarang bisa diharmonisasikan dengan perspektif omnibus law.
“Harus dipahami bahwa omnibus law itu bukan kodifikasi peraturan. Jadi, bukan menggabungkan satu ketentuan atau aturan yang berbeda-beda menjadi satu. Tetapi ini adalah metodologi atau perspektif untuk harmonisasi ketentuan yang terpencar-pencar. Dengan demikian, ketentuan mengenai suatu hal itu tidak saling bertentangan satu sama lain,” katanya.
Jimly mencontohkan harmonisasi ketentuan dalam pemilu dan ketentuan mengenai pengadilan tata usaha negara. Menurut UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sengketa administratif diputus oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Namun, pihak yang berperkara dapat mengajukan banding atas putusan Bawaslu ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Artinya, ada kaitan antara UU Pemilu dengan undang-undang yang mengatur PTUN, sehingga ada keselarasan.
“Sebagai contohnya, ketika itu (Pemilu 2014) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) pimpinan Sutiyoso diputuskan tidak dapat mengikuti Pemilu menurut putusan Bawaslu. Lalu, PKPI menggugat ke PTUN, bukan PTTUN. Ternyata di TUN, gugatannya dikabulkan. Padahal, UU Pemilu mengatur hal itu hanya bisa dibanding di PTTUN. Nah, ini ada ketidaksesuaian peraturan. Oleh karena itu memungkinkan dibuat omnibus law khusus mengenai peradilan TUN ini, sehingga diatur ketentuan PTUN tidak berwenang memutus sengketa administratif pemilu,” kata Jimly.
Selama ini, menurut Jimly, banyak yang kurang tepat memahami omnibus law sebagai upaya kodifikasi ketentuan yang sama. Padahal, omnibus law adalah suatu perspektif atau metodologi harmonisasi dan penyederhanaan ketentuan, bukan kodifikasi atau penghimpunan aturan yang serupa dalam satu UU besar. Dengan perspektif ini, peraturan yang saling tumpang tindih bisa diselaraskan.
“Saat ini sudah ada empat UU dengan nama dalam kurung \'omnibus law\'. Itu sebaiknya dihapus saja nama dalam kurungnya, sebab tidak perlu ada nama omnibus law, sebut saja nama undang-undangnya apa, karena itu hanya perspektif, bukan jenis kodifikasi UU tertentu,” kata Jimly.