Pemerintah dan DPR Harus Segera Tindaklanjuti Putusan MK
Dari laporan tahunan MK, terungkap ada 24 putusan MK periode 2013-2018 yang belum dipatuhi. DPR dan pemerintah harus segera menindaklanjuti putusan MK yang belum dipatuhi agar tidak terjadi kerancuan hukum.
Oleh
M Ikhsan Mahar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kepatuhan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi menjadi keniscayaan untuk menghadirkan sistem hukum yang efektif, terutama untuk memberikan dampak positif bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah harus segera menindaklanjuti sejumlah putusan MK yang belum dipatuhi agar tidak menjadi kerancuan hukum.
Dalam acara Laporan Tahunan 2019 Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/1/2020) terungkap bahwa dari 109 putusan MK yang dikeluarkan dalam periode 2013-2018 belum semuanya dipatuhi. Masih terdapat 24 putusan (22,01 persen) yang belum dipatuhi; 6 putusan (5,5 persen) dipatuhi sebagian; serta sebanyak 20 putusan (18,34 persen) belum dapat diidentifikasi jelas. Hal itu didasari temuan penelitian dari Universitas Trisakti.
”Temuan itu bukan saja penting bagi MK, tetapi juga patut menjadi perhatian kita bersama. Kepatuhan atas putusan mencerminkan kedewasaan dan kematangan sebagai negara yang menahbiskan sebagai negara hukum demokratis, sekaligus negara demokrasi berdasarkan hukum,” ujar Ketua MK Anwar Usman, seperti dikutip di HarianKompas, (29/1/2020).
Terkait dengan fenomena itu, anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Firman Soebagyo, Rabu (29/1) menegaskan, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikat dan final harus ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR yang berwenang dalam perumusan serta pembentukan undang-undang.
“Putusan MK, yang didasari uji materi dari masyarakat, harus ditindaklanjuti segera oleh pengusul undang-undang itu. Apabila pemerintah yang menjadi pengusul UU itu, maka pemerintah harus memperbaiki atau bisa pula DPR mengambil inisiatif,” kata Firman, Rabu (29/1/2020), di Jakarta.
Menurut Firman, keterlambatan untuk menjalankan putusan MK itu bisa berefek buruk bagi penegak hukum yang melaksanakan aturan perundang-undangan di lapangan, sehingga bisa berdampak dalam pelaksanaan dasar hukum itu bagi masyarakat.
Dia mencontohkan, putusan MK terkait masa jabatan hakim merupakan salah satu putusan yang perlu segera dipatuhi. Ia mengungkapkan, ada perlakuan beda terhadap hakim agung dan hakim MK.
“Oleh karena itu, perlu ada penyelarasan terhadap jabatan hakim agar tidak ada diskriminasi dalam lembaga peradilan yang bisa menimbulkan dampak lain,” ujarnya.
Wakil Ketua Baleg, Achmad Baidowi menekankan, pihaknya telah meminta Badan Keahlian Dewan (BKD) untuk menginventarisasi undang-undang yang dibatalkan MK, sehingga perlu segera dilakukan revisi.
“Kalau tingkat kepatuhan (putusan MK) itu berkaitan UU, kami di periode ini sudah memasukkan sejumlah UU itu dalam klaster kumulatif terbuka. Alhasil, setiap UU itu bisa dibahas sewaktu-waktu,” kata Achmad.
Proses tidak ideal
Anggota Komisi III dari Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menegaskan, belum dilaksanakannya putusan MK tidak tepat dimaknai bahwa telah terjadi pembangkangan konstitusional oleh pembentuk UU, yaitu DPR dan Presiden. Adapun putusan MK itu meliputi pembatalan undang-undang atau pasal atau bagian kata taua kalimat dari pasal maupun memberikan tafsir konstitusional terhadap pasal tertentu dari suatu UU.
Menurut Arsul, pembangkangan konstitusional itu terjadi apabila ditemukan dua kondisi. Pertama, pembentuk UU membuat lagi UU atau pasal yang isinya serupa dengan putusan MK. Kedua, isi UU atau pasal itu masih dilaksanakan setelah putusan MK. Ia menekankan, putusan MK yang bersifat final, mengikat, dan langsung berlaku meskipun belum ada perubahan UU atau pasal yang menjadi objek putusan MK itu.
“Yang ideal adalah jika ada putusan MK, maka UU segera diubah atau disesuaikan, tetapi jika itu belum dilakukan tidak berarti terjadi pembangkangan konstitusional. Hal itu hanya proses legislasi yang tidak ideal,” tutur Arsul.
Kendati begitu, peniliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Sumatera Barat, Khairul Fahmi, menyatakan, lembaga eksekutif dan legislatif seharusnya menindaklanjuti segera seluruh putusan MK yang menghendaki perubahan UU. Kepatuhan terhadap putusan MK itu, lanjutnya, diukur dari sejauh mana pembentuk UU menindaklanjuti putusan MK dengan mengubah UU sesuai penafsiran yang diputuskan MK.
“Artinya, apabila tidak segera melakukan perubahan UU, pembentuk UU telah tidak mematuhi putusan MK,” ucap Khairul.
Selain itu, tambah Khairul, terdapat pula putusan MK yang tidak membutuhkan tindak lanjut berupa perubahan UU, melainkan putusan tersebut langsung berlaku sejak diucapkan oleh hakim MK. Putusan seperti ini berkaitan dengan pembatasan norma.
“Ketika putusan sudah dimuat dalam berita negara, pelaksanaan putusan itu sebetulnya sudah selesai. Jika ada yang melanggar maka tindakan itu tidak sah,” kata Khairul.